TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Sectio caesaria
adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada dinding abdomen
dan uterus. (Harrry Oxorn, 2010)
Sectio caesaria
adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan
dinding rahim.(Mansjoer,
2007)
Sectio caesaria
adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi
pada dinding perut dan dinding rahim dengan saraf rahim dalam keadaan utuh
serta berat diatas 500 gram.(Mitayani,
2009)
Presentasi
Bokong merupakan letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang terendah
sehingga kepala berada di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri (William, 2006).
Presentasi
Bokong adalah janin letak memanjang
dengan bagian terendahnya bokong, kaki atau kombinasi keduanya dengan insidensi 3-4% dari
seluruh kehamilan tunggal pada umur kehamilan cukup bulan atau ≥ 37
minggu.(Sarwono, 2008)
Berdasarkan
pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sectio caesaria dengan indikasi presentasi bokong adalah tindakan pembedahan
dari dinding abdomen sampai dinding uterus guna mengeluarkan hasil konsepsi
dimana posisi bokong janin berada dirongga panggul.
B.
Etiologi
Faktor – faktor
etiologi presentasi bokong meliputi :
1. Prematuritas
2. Air
ketuban yang berlebihan
3. Kehamilan
ganda
4. Placenta
previa
5. Panggul
sempit
6. Janin
besar
Setiap
keadaan yang mempengaruhi masuknya kepala janin ke dalam kepala panggul
mempunyai peranan dalam etiologi presentasi bokong. Banyak yang tidak diketahui
sebabnya dan setelah mengesampingkan kemungkinan – kemungkinan lain maka sebab
malposisi tersebut baru dinyatakan hanya karena kebetulan saja. Beberapa ibu
melahirkan bayinya semuanya dengan presentasi bokong, menunjukan bahwa bentuk
panggulnya adalah lebih cocok untuk presentasi bokong dari pada presentasi
kepala. Implantasi placenta difundus uteri atau dicornu uteri cenderung untuk
mempermudah terjadinya presentasi bokong. (Harrry Oxorn, 2010)
C.
Klasifikasi
Presentasi Bokong
1. Presentasi
bokong murni (frank breech presentation)
Bagian terbawah adalah bokong saja, sendi paha dan sendi
lutut dalam keadaan ekstensi
Presentasi bokong murni adalah yang tersering pada
presentasi bokong
2. Presentasi
Bokong Kaki (Complete breech presentation)
Bagian Terbawah
adalah bokong, dengan kaki disampingnya, sendi paha dan sendi lutut dalam
keadaan ekstensi
Terbagi lagi menjadi 2:
a. Presentasi
bokong kaki sempurna : bagian terbawah ada bokong dan dua kaki
b. Presentasi bokong kaki tidak sempurna : bagian
terbawah ada bokong dan satu kaki.
3. Presentasi
lutut
Bagian terbawah
adalah lutut.
Terbagi lagi
menjadi 2:
a. Presentasi
lutut sempurna : bagian terbawah adalah kedua lutut
b. Presentasi
lutut tidak sempurna : bagian terbawah hanya ada satu lutut
4. Presentasi Kaki
Bagian
terbawah adalah kaki
Terbagi lagi
menjadi 2:
a. Presentasi kaki
sempurna : bagian terbawah adalah kedua kaki
b. Presentasi kaki
tidak sempurna : bagian terbawah hanya ada satu kaki
(Mansjoer, 2007)
D.
Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan
pada proses persalinan yang menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal /
spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit,
disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak
maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesaria (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan
tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga
akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan
kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas
perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan
diri.
Kurangnya informasi mengenai proses
pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah
ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan
tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya
inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah
insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang
akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir,
daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak
dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.
A.
Indikasi
sectio caesaria
Menurut
Harry Oxorn (2010)
indikasi sectio caesaria dibagi
menjadi dua factor :
1. Faktor
Janin
a. Bayi
terlalu besar
Berat bayi sekitar 4000
gram atau lebih, menyebabkan bayi sulit keluar jalan lahir.
b. Kelainan
letak bayi
Ada
dua kelainan letak janin dalam rahim yaitu letak sunsang dan lintang.
c. Janin
abnormal
Janin abnormal misalnya kerusakan
genetik dan hidrosephalus.
d. Faktor
plasenta
Ada
beberapa kelainan plasenta yang menyebabkan keadaan gawat darurat pada ibu dan
janin sehingga harus dilakukan persalinan dengan operasi bila itu plasenta
previa dan solutio plasenta.
e. Kelainan
tali pusat
Ada
dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu, prolaps tali pusat dan
terlilit tali pusat.
f. Multiple
pregnancy
Tidak
selamanya bayi kembar dilaksanakan
secara operasi. Persalinan kembar memiliki resiko terjadinya komplikasi
misalnya lahir premature sering terjadi preeklamsia pada ibu. Bayi kembar dapat
juga terjadi sungsang atau letak lintang. Oleh karena itu pada persalinan
kembar dianjurkan di rumah sakit, kemungkinan dilakukan tindakan opersai.
2. Faktor
Ibu
a. Usia
Ibu
yang melahirkan pertama kali diatas usia 35 tahun atau wanita usia 40 tahun ke
atas. Pada usia ini seseorang memiliki penyakit yang berisiko misalnya
hipertensi, jantung, kencing manis dan eklamsia.
b. Tulang
panggul
Cephalopelvic
disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan
ukuran lingkar kepala janin.
c. Persalinan
sebelumnya dengan operasi
d. Faktor
hambatan jalan lahir
Gangguan
jalan lahir terjadi adanya tumor atau myoma.Keadaan ini menyebabkan persalinan
terhambat atau tidak maju adalh distosia.
B. Jenis - jenis
sectio caesaria
Menurut Harry Oxorn (2010) tipe-tipe sectio
caesaria
yaitu :
1. Segmen
bawah (insisi melintang)
Insisi
melintang segmen bawah ini merupakan prosedur pilihan. Abdomen di buka dan
uterus di singkapkan. Lipatan vesicouterina peritoneum (bladder flap) yang
terletak dekat sambungan segmen atas dan bawah uterus di tentukan dan di sayat
melingtang, lipatan ini di lepaskan dari segmen bawah dan bersama-sama kandung
kemih di dorong ke bawah serta di tarik agar tidak menutupi lapangan pandangan.
Pada
segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yang kecil, luka insisi ini
dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan berhenti di dekat daerah
pembuluh-pembuluh darah uterus.
2. Segmen
bawah (insisi membujur)
Cara
membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama sepertipada insisi melintang.
Insisi membujur di buat dengan skapel
dan di lebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi.
Insisi membujur mempunyai keuntungan yaitu kalau perlu luka insisi bisa di
lebarkan ke atas. Pelebaran ini di perlukan bila kalau bayinya besar,
pembentukan segmen bawah jelek, ada malposisi janin seperti letak lintang atau
kalau ada anomali janin seperti kehamilan kembar yang menyatu.
3. Sectio
caesaria klasik
Insisi longitudinal di garis tengah
di buat dengan scalpel ke dalam dinding anterior uterus dan di lebarkan ke atas
serta ke bawah dengan gunting berujung tumpul. Di perlukan luka insisi yang
lebar karena bayi sering di lahirkan dengan bokong dahulu.
4. Sectio
caesaria exstraperitoneal
Pembedahan extraperitonel di
kerjakan untuk menghindari perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang
mengalami infeksi luas dengan mencegah peritonitis generalisata yang sering
bersifat fatal.
C.
Komplikasi
Sectio Caesaria
Menurut Saleha (2009)
komplikasi tindakan sectio caesaria yaitu
1.
Komplikasi sectio
caesaria
a. Pada
ibu: infeksi puerperal, perdarahan, luka pada kandung kemih, embolisme paru-paru,
rupture uteri.
b. Pada
janin: terjadi kematian perinatal
2.
Komplikasi pada masa
nifas
a.
Infeksi nifas
b.
Perdarahan dalam masa
nifas
c.
Infeksi saluran kemih
d.
Patologi menyusui
D.
Pemeriksaan
penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht)
untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek
kehilangan darah pada pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan,
waktu pembekuan darah
4. Urinalisis : Menentukam kadar Albumin dan
Glukosa
(Mansjoer, 2007)
E.
Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1. Analgesi
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata
dapat disuntik 75 mg meperidin (intra muskuler)
setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat
disuntikan dengan cara serupa 10 mg morfin.
a. Wanita
dengan ukuran tubuh kecil, dosis meperidin
yang diberikan adalah 50 mg.
b. Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih
tepat adalah 100 mg meperidin.
c. Obat-obatan
antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-sama dengan
pemberian preparat narkotik.
2. Tanda-tanda
Vital
Tanda-tanda
vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi, jumlah
urine serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
3. Terapi
cairan dan Diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3
liter larutan RL, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam
pertama berikutnya, meskipun demikian, jika output urine jauh di bawah 30 ml /
jam, pasien harus segera di evaluasi kembali paling lambat pada hari kedua.
4. Vesika
Urinarius dan Usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12
jam, post operasi atau pada keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising
usus belum terdengar pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari kedua
bising usus masih lemah, dan usus baru aktif kembali pada hari ketiga.
5. Ambulasi
Pada hari pertama setelah
pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat bangun dari tempat tidur
sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan
pertolongan.
6. Perawatan
Luka
Luka insisi di inspeksi setiap
hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan tanpa banyak plester sangat
menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari ke empat
setelah pembedahan. Paling lambat hari ke tiga post partum, pasien dapat mandi
tanpa membahayakan luka insisi.
7. Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada
pagi setelah operasi, hematokrit tersebut harus segera di cek kembali bila
terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain yang menunjukkan
hipovolemia.
8. Perawatan
Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada
hari post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut
payudara yang mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya
mengurangi rasa nyeri.
9. Memulangkan
Pasien Dari Rumah Sakit
Seorang pasien yang baru melahirkan
mungkin lebih aman bila diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada hari ke
empat dan ke lima post operasi, aktivitas ibu seminggunya harus dibatasi hanya
untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain. (Sugeng jitowiyono, 2012)
F.
Adaptasi
Fisiologi dan Psikologi Post Sectio
Caesaria
Adaptasi fisiologi
menurut Bobak (2005) adaptasi fisiologi dibagi menjadi beberapa sistem diantaranya yaitu
:
1. Perubahan
sistem reproduksi
Selama
masa nifas, alat-alat interna maupun eksterna berangsur-angsur kembali seperti
keadaan sebelum hamil. Perubahan seluruh alat genital ini disebut involusi.
Pada masa ini terjadi juga perubahan penting lainnya, perubahan-perubahan yang
terjadi antara lain sebagai berikut:
a) Uterus
Segera
setelah lahirnya plasenta, pada uterus yang berkontraksi posisi fundus uteri
berada kurang lebih pertengahan antara umbilicus dan simfisis, atau sedikit
lebih tinggi. Dua hari kemudian, kurang lebih sama dan kemudian mengerut,
sehingga dalam dua minggu telah turun masuk kedalam rongga pelvis dan tidak
dapat diraba lagi dari luar. Involusio uteri melibatkn pengorganisasian dan
pengguguran desidua serta peggelupasan situs plasenta, sebagaimana
diperlihatkan dengan pengurangan dalam ukuran, berat serta oleh warna dan
banyak lokhea.
Banyaknya
lokhea dan kecepatan
involusi tidak akan terpengaruh oleh pemberian sejumlah preparat metergin dan
lainnya dalam
proses persalinan. Involusi tersebut dapat dipercepat prosesnya bila ibu
menyusui bayinya.
Proses
kembalinya uterus kekeadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut involusi.
proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot
polos uteri (Saleha, 2009).
b) Lokhea
Lokhea adalah cairan secret
yang berasal dari cavum uteri dan vagina selama masa nifas. Menurut Saleha, (2009), lokhea terbagi menjadi empat jenis yaitu: lokhia rubra, sangulenta, serosa dan alba.
1) Lokhea rubra (cruenta)
berwarna merah karena berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, set-set
desi dua,
verniks caseosa, lanugo, dan mekoneum, selama dua hari pascapersalinan. Inilah
lokhia yang akan keluar
selama dua sampai tiga hari postpartum.
2) Lokhea sangulenta berwarna
merah kuning berisi darah dan lender yang keluar pada hari ketiga sampai
ketujuh pasca persalinan.
3) Lokhea serosa, dimulai
dengan versi yang lebih pucat dari lokia rubra. Lokhea ini berbentuk serum
dan berwarna merah jambu kemudian menjadi kuning. Cairan tidak berdarah lagi
pada hari ketujuh sampai hari keempat belas pascapersalinan.
4) Lokhea alba adalah lokhea yang terakhir.
Dimulai dari hari ke empat belas kemudian makin lama makin sedikit hingga sama
sekali berhenti sampai satu atau dua minggu berikutnya. Berbentuk seperti
cairan putih berbentuk krim serta terdiri atas leukosit dan sel-sel desidua.
c) Endometrium
Perubahan
pada endometrium adalah timbulnya thrombosis, degenerasi dan nekrosis ditempat
implantasi plasenta. Pada hari pertama tebal endometrum 2,5 mm, mempunyai
permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua, dan selaput janin. Setelah tiga
hari mulai rata, sehngga tidak ada pembentukan jaringan perut pada bekas
implantasi plasenta (Saleha, 2009).
d) Serviks
Segera
setelah berakhirnya kala TU , servik menjadi sangat lembek, kendur, dan
terkulai. Servik tersebut dapat melepuh dan lecet, terutama dibagian anterior.
Servik akan terlihat padat yang mencerminkan vaskularisasinya yang tinggi,
lubang servik lambat laun mengecil, beberapa hari setelah persalinan diri retak
karena robekan dalam persalinan. Rongga leher servik bagian luar akan membentuk
seperti keadaan sebelum hamil pada empat mingggu postpartum (Saleha, 2009).
e) Vagina
Vagina
dan lubang vagina pada permulaan puerpurium merupakan suatu saluran yang luas
berdinding tipis. Secara berangsur-angsur luasnya berkurang, tetapi jarang
sekali kembali seperti ukuran seorang nulipara. Rugae timbul kembali pada
minggu ketiga. Hymen tampak sebagai tonjolan jaringan yang kecil, yang dalam
proses pembentukan berubah menjadi karunkulae mitiformis yang khas bagi wanita
multipara (Saleha, 2009).
f) Payudara
Pada
semua wanita yang telah melahirkan proses laktasi terjadi secara alami. Selama
Sembilan bulan kehamilan, jaringan payudara tumbuh dan menyiapkan fungsinya
untuk menyediakan makanan bagi bayi baru lahir. Setelah melahirkan, ketika
hormone yang dihasilkan plasenta tidak adalagi untuk menghambatnya kelenjar
pituitary akan mengeluarkan prolaktin (hormone laktogenik). Sampai hari ketiga
setelah melahirkan, efek prolaktin pada payudara mulai dapat dirasakan.
Pembuluh darah payudara menjadi bengkak berisi darah, sehingga timbul rasa
hangat, bengkak, dan rasa sakit. Selsel acini yang menghasilkan ASI juga mulai
berfungsi. Ketika bayi mengisap putting, reflek saraf merangsang lobus
posterior pituitary untuk mensekresi hormone oksitosin.
Oksitosin
merangsang reflek let down
(mengalirkan), sehingga menyebabkan ejeksi ASI melalui sinus aktiferus payudara
ke duktus yang terdapat pada putting. Ketika ASI dialirkan karena isapan bayi
atau dengan dipompa sel-sel acini terangsang untuk menghasilkan ASI lebih
banyak. Reflek ini dapat berlanjut sampai waktu yang cukup lama (Saleha, 2009).
2. Sistem
pencernaan
Pada
ibu nifas terutama yang partus lama dan terlantar mudah terjadi ileus
paralitikus, yaitu adanya obstruksi usus akibat tidak adanya peristaltik usus.
Penyebabnya adalah penekanan buah dada dalam kehamilan dan partus lama,
sehingga membatasi gerak peristaltic usus, serta bias juga terjadi karena
pengaruh psikis takut BAB karena luka
(Saleha, 2009).
3. Sistem
perkemihan
Pelfis
ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi selama kehamilan kembali normal
pada akhir minggu keempat setelh melahirkan. Dieresis yang normal dimulai
segera setelah bersalin sampai hari kelima setelah persalinan. Jumlah urin yang
keluar dapat melebihi tiga ribu ml per hari. Hal ini diperkirakan merupakan salah
satu cara untuk menghilangkan peningkatan cairan ekstraseluler yang merupakan
bagian normal dari kehamilan, selain itu juga didapati adanya keringat yang
banyak pada beberapa hari pertama setelah persalinan.
Disamping
itu, kandung kemih pada puerperium mempunyai kapasitas yang meningkat secara
relatif. Oleh karena itu, distensi yang berlebihan, urine residual yang
berlebihan, dan pengosongan yang tidak sempurna, harus diwaspadai secara
seksama. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami distensi akan kembali normal
pada dua sampai delapan minggu setelah persalinan (Saleha, 2009).
4. Sistem
muskuloskeletal
Adaptasi
sistem muskuloskeletal ibu yang terjadi selama masa hamil berlangsung secara
terbalik pada masa pasca partum.
Adaptasi ini mencakup hal-hal yang membantu relaksasi dan hipermobilisasi sendi
dan perubahan pusat berat ibu akibat pembesaran rahim. Stabilisasi lengkap pada
minggu keenam sampai kedelapan setelah wanita melahirkan. Akan tetapi, walaupun
semua sendi lain kembali ke keadaan normal sebelum hamil, kaki wanita tidak
mengalami perubahan setelah melahirkan. Wanita yang jadi ibu akan memerlukan
sepatu yang ukurannya lebih besar (Bobak, 2005).
5. Sistem
endokrin
Selama
periode pascapatum, terjadi perubahan hormon yang besar. Pengeluaran plasenta
menyebabkan penurunan signifikan hormone-hormon yang diproduksi oleh organ
tersebut.
Penurunan
hormon human placental lactogen (hPL),
estrogen, dan kortisol serta plasental
enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar gula
darah menurun secara yang bermakna pada puerperium (Bobak, 2005).
Kadar
estrogen dan progesteron menurun secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar
terendahnya dicapai kira-kira satu minggu pascapartum, penurunan kadar estrogen
berkaitan dengan pembengkakan payudara dan diuresis cairan ekstraselular
berlebih yang terakumulasi selama masa kehamilan. (Bobak, 2005)
Oksitosin
disekrkresikan dari kelenjar otak bagian belakang. Selama tahap ketiga
persalinan, hormone oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan mempertahankan
kontraksi, sehingga mencegah perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi
ASI dan sekresi oksitosin. Hal tersebut membantu uterus kembali kebentuk normal
(Saleha, 2009)
6. Perubahan
TTV menurut Bobak, (2005)
Temperatur
selama 24 jam pertama dapat meningkat sampai 38 derajat Celsius sebagai akibat
efek dehidrasi persalinan. Setelah 24 jam wanita harus tidak demam. Pernapasan
harus berada dalam rentan normal sebelum melahirkan.
Denyut
nadi dan curah jantung tetap tinggi selama jam pertama setelah bayi lahir.
Kemudian mulai menurun dengan frekuensi yang tidak diketahui. Pada minggu
kedelapan sampai kesepuluh setelah melahirkan, denyut nadi kembali kefrekuensi
sebelum hamil.
Tekanan
darah sedikit berubah atau menetap. Hipotensi ortostatik, yang diindikasikan
oleh rasa pusing dan seakan ingin pingsan segera setelah berdiri, dapat timbul
dalam 48 jam pertama. Hal ini merupakan akibat pembengkakan limpa yang terjadi
setelah wanita melahirkan.
7. Sistem
kardiovaskuler, menurut Bobak
(2005)
Volume
darah perubahan volume darah tergantung pada beberapa faktor, misalnya
kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi serta pengeluaran
ekstravaskuler. Pada minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir volume darah
biasanya menurun sampai mencapai volume sebelum hamil.
Denyut
jantung, volume sekuncup, dan curah jantung meningkat sepanjang masa hamil.
Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini akan meningkat bahkan lebih
tinggi selama tiga puluh sampai enam puluh menit karena darah yang biasanya
melintasi sirkuit uteroplasenta tiba-tiba kembali ke sirkulasi umum. Nilai
inimeningkat pada semua jenis kelahiran atau semua pemakaian konduksi
anesthesia.
Adaptasi
psikologi pada masa nifas menurut Saleha (2009)
Periode
masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami strespasca persalinan, terutama
pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh Reva Rubin yang terjadi pada
tiga tahap berikut ini:
a. Taking in period
Terjadi
pada satu sampai dua hari setelah persalinan, ibu sangat pasif dan sangat
tergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih
mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, serta kebutuhan
tidur dan nafsu makan meningkat.
b. Taking hold period
Berlangsung
tiga sampai empat hari post partum,
ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab
sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ibu menjadi sangat sensitif,
sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan
yang dialami ibu.
c. Letting go period
Dialami
setelah ibu dan bayi tiba dirumah. Ibu mulai secara penuh menerima tanggung
jawab sebagai
“seorang ibu” dan menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada
dirinya.
G. Pengkajian
keperawatan
Fokus pengkajian pada ibu post sectio caesaria yaitu :
1.
Sirkulasi
Hipotensi, nadi melambat (50-70
x/menit), TD bervariasi, edema pada ekstremitas bawah, kehilangan darah 600-800
ml.
2.
Integritas ego
Menunjukkan tanda kegagalan dan
atau refleksi negative pada kemampuan sebagai wanita reaksi emosional yang
bevariasi, ekspresi meminta maaf untuk perilaku intrapartum yang tidak
terkontrol, rasa takut mengenai kondisi bayi baru lahir dan perawatan segera
pada neonatal. Dapat menunjukkan liabilitas emosional dan kegembiraan sampai
ketakutan, marah, atau menarik diri. Ibu atau pasangan dapat memiliki pertanyaan
atau salah terima peran dalam pengalaman kelahiran. Mungin mengekspresikan
ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru.
3.
Eliminasi
Terpasang kateter menetap, bising
usus tidak ada atau jelas.
4.
Makanan/cairan
Abdomen lunak, tidak ada distensi
pada awal post SC, nyeri epigastrik, merasa haus, lapar, mukosa mulut kering.
5.
Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di
bawah tingkat Anestesi spinal epidural.
6.
Nyeri
Mengeluh ketidaknyamanan atau nyeri
dari berbagai sumber :
trauma bedah atau insisi bedah, nyeri abdomen karena kontraksi uterus, distensi
kandung kemih, nyeri karena pembengkakan payudara.
7.
Keamanan
Kemungkinan terpajang infeksi
karena daya tahan tubuh yang rendah, immobilitas, trauma jaringan. Balutan
abdomen dapat tampak sedikit noda atau kering dan utuh. Jalur parental bila di
gunakan: paten, bebas eritema, bengakak dan nyeri tekan.
8.
Seksualitas
Riwayat CPD, kehamilan multipel,
uterus sangat distensi, riwayat kehamilan SC sebelumnya, fundus dengan
kontraksi kuat dan terletak di umbilicus. Aliran lochea sedang, bebas dari
bekuan yang berlebihan, merah gelap, hanya beberapa bekuan kecil, perineum
utuh, striae pada abdomen, paha dan payudara, payudara lunak dengan puting
tegang.
9.
Aktivitas
Tampak berenergi, kelelahan atau
keletihan, mengantuk
10. Pemeriksaan
diagnostic
Jumlah darah lengkap, Hb, PCV,
Urinalisa bila di perlukan.
H.
DIAGNOSA
DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri
akut berhubungan dengan agens cidera (NANDA, 2011)
Tujuan
: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria
Hasil : Klien mengungkapkan nyeri berkurang bahkan hilang
dibuktikan dengan pasien mengatakan nyeri berkurang, wajah rileks.
Intervensi
:
a.
Kaji karakteristik dan skala nyeri
Rasional : mengkaji skala nyeri
pada pasien dapat menentukan tingkat permasalahan.
b.
Monitor keadaan
umum dan vital sign.
Rasional : memonitor vital sign
dan KU dapat
mengetahui perkembangan
pasien.
c. Anjurkan
teknik relaksasi bila nyeri muncul
Rasional : diharapkan
dapat member rasa nyaman pada pasien.
d. Berikan posisi yang nyaman
Rasional : diharapkan dapat
mengurangi nyeri pada pasien
e. Ciptakan lingkungan yang nyaman
Rasional : diharapkan
dapat member rasa nyaman pada pasien
f. Kolaborasi pemberian analgesik
Rasional
: analgesik diharapkan dapat mengurangi rasa nyeri.
2. Resiko
infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.(NANDA, 2011)
Tujuan
: Resiko infeksi dapat dicegah.
Kriteria
Hasil : luka bersih, kering, tidak ada pus dan klien tidak demam
atau tidak muncul tanda – tanda infeksi.
Intervensi:
a.
Kaji peningkatan
suhu, nadi, respirasi sebagai tanda infeksi
Rasional
: suhu lebih dari 38°C menandakan adanya infeksi.
b.
Cuci tangan sebelum
dan sesudah melakukan tindakan.
Rasional
: untuk mengidentifikasi tindakan yang dapat memperberat terjadinya infeksi.
c.
Lakukan perawatan
luka dengan teknik aseptik dan antiseptik.
Rasional
: mencegah infeksi dan penyebaran ke jaringan sekitarnya.
d.
Anjurkan makan
tinggi kalori dan tinggi protein.
Rasional
: protein membantu dalam pertumbuhan jaringan dan penyembuhan, kalori perlu
untuk penghematan protein.
e.
Anjurkan pada
pasien untuk menjaga area insisi operasi ketika bergerak.
Rasional
: mencegah terjadinya
infeksi pada luka post sectio caesaria.
f.
Kolaborasi
pemberian antibiotik
Rasional : antibiotik diberikan
untuk menncegah
infeksi.
3. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. (NANDA, 2011)
Tujuan
: Aktivitas kembali sesuai dengan kemampuan pasien
Kriteria
Hasil : Pasien dapat beraktivitas seperti biasa.
Intervensi
:
a.
Kaji kemampuan
aktivitas pasien.
Rasional : dapat mengetahui
kemampuan dalam aktivitas.
b.
Bantu dan motivasi
untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan.
Rasional : dapat
memberikan rasa tenang dan aman pada klien karena kebutuhan klien terpenuhi.
c.
Libatkan keluarga
dalam memenuhi kebutuhan aktivitas pasien.
Rasional : untuk mengetahui perubahan yang terjadi
pada pasien dalam keluhan kelemahan, keletihan yang berkenaan dengan aktivitas.
d.
Tingkatkan
aktivitas secara bertahap.
Rasional : dapat meningkatkan
proses penyembuhan.
e.
Berikan posisi yang
nyaman
Rasionai : dapat mengurangi rasa nyeri pada pasien
f.
Kolaborasi dengan
fisioterapi dalam latihan ambulasi.
Rasional :
diharapkan dapat mengurangi resiko pada pasien.
4. Kurang
pengetahuan mengenai perawatan diri dan bayi berhubungan dengan kurang
informasi.(Carpenito, 2007)
Tujuan
: pasien dapat mendemonstrasikan dan mengungkapkan
pemahaman diri post partum.
Kriteria
Hasil : pasien memahami cara – cara penanganan diri dan bayi, dan
pasien mampu mendemonstrasikan.
Intervensi
:
a.
Kaji tingkat
pengetahuan pasien.
Rasional
: Untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan pasien.
b.
Beri informasi tentang perawatan payudara.
Rasional : dapat mengetahui tentang perawatan payudara.
c.
Ajarkan pasien
perawatan payudara yang benar
Rasional : diharapkan
pasien mengetahui dan bisa melakukan perawatan payudara.
d.
Dorong pasien untuk
melakukan sendiri.
Rasionl :
diharapkan pasien berani untuk merawat payudara dan bayinya dengan mandiri.
e.
Jelaskan pentingnya ASI bagi bayi.
Rasional : dapat mengetahui manfaat ASI untuk bayinya.
5. Konstipasi
berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinal.(NANDA, 2011)
Tujuan
; Konstipasi tidak terjadi
Kriteria
Hasil : klien bisa flatus dan mendapatkan kembali pola eliminasi biasanya atau
optimal.
Intervensi
:
a. Palpasi
abdomen, perhatikan distensi/ketidaknyamanan.
Rasional : mengetahui perkembangan masalah pasien
b.
Beri cairan per
oral 6-8 gelas per hari.
Rasional
: untuk merangsang eliminasi BAB
c.
Observasi penyebab
gangguan eliminasi BAB.
Rasional : untuk mengetahui apakah penyebab gangguan dalam BAB
d. Kolaborasi
pemberian obat supositoria
Rasioanal : untuk
melunakkan feces
e.
Kolaborasi
pemberian diit tinggi serat
Rasional
: cairan dan makanan serat dapat merangsang eliminasi dan mencegah konstipasi
No comments:
Post a Comment