LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Persalinan
adalah proses fisiologis yang akan
dialami wanita untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang hidup dari uterus, sedangkan
pasca persalinan adalah waktu penyembuhan untuk kembali kepada keadaan tidak
hamil dan penyesuaian terhadap penambahan keluarga baru mulai dari selesai
persalinan sampai kira-kira 6 minggu, tetapi alat genital baru pulih 3
bulan setelah persalinan (Bobak, Irena. M. 2005).
Partus
biasa atau partus normal adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala
(LBK) dengan tenaga ibu ,
tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Sedangkan
partus spontan merupakan persalinan melalui vagina tanpa bantuan peralatan
khusus. Sepenuhnya mengandalkan tenaga dan usaha ibu. Persalinan dapat terjadi
pada presentasi kepala atau persalinan normal atau presentasi bokong atau
sungsang (Mochtar, Rustam. 2011).
Retensio
plasenta di definisikan sebagai belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu
setengah jam. jika diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian
plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan
segera. Bila retensio plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan
ada kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta
perkreta (Manuaba. 2006).
Istilah
plasenta akreta digunakan untuk
menggambarkan tiap jenis implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal
ke dinding uterus. Akibat ketiadaan total atau parsial desidua basalis dan
ketidak sempurnaan perkembangan lapisan
Nitabuch atau fibrinoid (Cunningham, F. Gary. 2013).
B.
Etiologi
Penyebab
retensio plasenta menurut Sastrawinata, 2006 adalah :
1. Fungsional
:
a. His
atau kontraksi kurang kuat.
b. Plasenta
sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya (plasenta
membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil).
Plasenta yang sukar lepas karena sebab di atas disebut plasenta adhesive.
2. Patologi
– anatomi :
a. Plasenta
akreta
b. Plasenta
inkreta
c. Plasenta
perkreta
Belum lahirnya plasenta dapat juga
disebabkan karena belum lepasnya plasenta dari dinding uterus karena kontraksi
uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesive), plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh
sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium atau hingga mencapai
bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding
uterus akan tetapi belum keluar, dapat disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk
melahirkan atau karena salah penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran
konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta
(inkaserata plasenta).
C.
Pathofisiologi
Setelah
bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Ketika
jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang belum terlepas
mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan
lapisan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan terjadi pelepasan
plasenta (Prawiroharjo, S. 2007).
Dalam
keadaan normal, decidua basalis terletak di antara myometrium dan plasenta.
Lempeng pembelahan bagi bagi pemisahan plasenta berada dalam lapisan decidua
basalis yang mirip spons. Pada plasenta akreta, decidua basalis tidak ada
sebagian atau seluruhnya sehingga plasenta melekat langsung pada myometrium.
Villi tersebut bisa tetap supervisial pada otot uterus atau dapat menembus
lebih dalam karena adanya defek pada decidua. Pada daerah superfisal myometrium
tumbuh sejumlah besar saluran vena di bawah plasenta. Ruptura sinus-sinus ini
yang terjadi ketika plasenta dikeluarkan secara paksa akan menimbulkan
perdarahan dalam jumlah banyak (Hary Oxorn & William. 2010).
A.
Anatomi
Plasenta
Harry
Oxorn dan William R. Forte, 2010 dalam bukunya Human Labort & Birth,, mengungkapkan normalnya Plasenta
berbentuk cakram yang bundar atau lonjong (oval), mempunyai ukuran 20 x 15 cm
dengan tebal 1.5 sampai 2.0 cm, berat plasenta yang biasanya 20% dari berat
janin berkisar antara 425 dan 550 g.
Umumnya
plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang
amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Pada dasarnya plasenta berasal dari
sebagian besar bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan
sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari decidua basalis. Darah ibu
yang berada dari ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di
decidua basalis. Pada tekanan systole 70-80 mmHg darah di alirkan ke dalam
ruang interviller hingga mencapai chorionic plate, pangkal dari
kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan
kembali perlahan-;ahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena decidua basalis
(Williams Obstetrics, 2013).
Fungsi
utama plasenta adalah transfer nutrien dan zat sisa antara ibu dan janin
(meliputi fungsi respirasi, ekskresi dan nutritif), menghasilkan hormon dan
enzim yang dibutuhkan untuk memelihara kehamilan, sebagai barier dan
imunologis. Fungsi transfer tergantung kepada sifat fisik zat yang mengalami
transfer dalam darah ibu maupun janin, integritas fungsi membrana plasenta
(exchange membrane) dan kecepatan aliran darah pada kedua sisi exchang membrane ibu dan janin
(Mitayani, 2009).
B.
Jenis-jenis
Retensio Plasenta
Jenis-jenis
retensio plasenta diantaranya :
1. Plasenta
Adhesive, dimana terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2. Plasenta
Akreta, implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium.
3. Plasenta
Inkreta, implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus.
4. Plasenta
Prekreta, implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa
dinding uterus hingga ke peritorium.
5. Plasenta
Inkarserata, tertahannya plasenta didalam kavum uteri disebabkan oleh kontraksi
ostium uteri.
(Sarwono,
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)
C.
Manifestasi
Klinis
1. Anamnesis,
meliputi pertanyaan tentang periode prenatal meminta informasi mengenai episode
pendarahan post partum sebelumnya, paritas, serta riwayat multiple fetus dan
polihibranion. Serta riwayat post partum sekarang dimana plasenta tidak lepas
secara spontan atau timbul pendarahan aktif setelah bayi di lahirkan.
2. Pada
pemeriksaan pervaginaan, plasenta tidak ditemukan dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
(Prawirohardjo,
S. 2002)
Tanda
dan gejala retensio plasenta terbagi menjadi :
1. Plasenta
Akreta Parsial/Separasi
Konsistensi uterus kenyal, TFU setinggi
pusat, bentuk uterus discoid, pendarahan sedang banyak, tali pusat terjulur
sebagian, ostium uteri terbuka, separasi plasenta lepas sebagian, syok sering.
2. Plasenta
Akreta
Konsistensi uterus cukup, TFU setinggi
pusat, bentuk uterus discoid, pendarahan sedikit atau tidak ada, tali pusat
tidak terjulur, ostium uteri terbuka, separasi plasenta melekat seluruhnya, syok
jarang sekali, kecuali akibat inversion oleh tarikan kuat pada tali pusat.
(dr. Taufan
Nugroho, 2012)
D.
Komplikasi
Menurut Mitayani, 2011
beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien post manual plasenta diantaranya
:
1. Pendarahan,
terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta terdapat sedikit perlepasan hingga
kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat luka tidak tertutup.
2. Infeksi,
plasenta yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan per-tumbuhan bakteri
dibantu dengan port d’entre dari tempat perlengketan plasenta.
3. Dapat
terjadi plasenta inkarserata dimana plasenta melekat terus sedang-kan kontraksi
pada ostium baik.
4. Terjadi
polip plasenta sebagai massa poliferative yang mengalami infeksi sekunder dan
nekrosis dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat
berubah menjadi (displastik-diskarotik) dan akhirnya menjadi karsinoma
invasive. Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan
berjalan terus.
E.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Hitung
darah lengkap, untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct),
melihat adanya trombositopenia serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai infeksi , leukosit biasanya meningkat lebih tinggi.
2. Menentukan
adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin Time (PT) dan Activated
Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT)
atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang
disebabkan oleh factor lain.
F.
Penatalaksaan
Penatalaksanaan
retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah sebagai berikut :
1. Resusitasi,
pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar
serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer
laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah
dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi
dengan hasil pemeriksaan darah.
2. Drips
oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl
0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta
coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika
plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual
plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc,
retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang
sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk
eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5. Jika
tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan
tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran
sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah
sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan
kuretase pada abortus.
6. Setelah
selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian
antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
sekunder.
(dr. Tufan Bugroho, 2012)
G.
Pengkajian
Keperawatan
Beberapa
hal yang perlu di kaji dalam asuhan keperawatan ibu dengan post partum spontan
yang disertai retensio plasenta adalah :
1. Identitas
pasien
Berupa
data biologis/fisiologis yang meliputi : keluhan utama, riwayat kesehatan masa
lalu, riwayat penyakit keluarga, riwayat obstetric (GPA, riwayat kehamilan,
persalinan dan nifas), serta pola kegiatan sehari-hari sebagai berikut :
a. Sirkulasi
:
1) Perubahan
tekanan darah, nadi dan suhu.
2) Pucat,
kulit dingin atau lembab.
3) Perdarahan
vena gelap dari uterus ada secara eksternal (plasenta tertahan).
4) Dapat
mengalami perdarahan vagina berlebihan.
5) Haemoragi
berat/gejala syok diluar proporsi jumlah kehilangan darah.
b. Eliminasi
Kaji
keadaan kandung kemih, lihat ada tidaknya kandungan urine. Kandung kemih yang
bulat dan lembut menunjukkan jumlah urine yang tertampung banyak sehingga dapat
mengganggu involusi uteri dan harus segera di keluarkan.
c. Ketidaknyamanan
atau nyeri
Sensasi nyeri
terbakar/robekan (laserasi), nyeri tekan abdominal (fragmen plasenta tertahan)
dan nyeri uterus lateral.
d. Keamanan
Laserasi jalan
lahir : darah tampak (terkadang
tersembunyi) dengan uterus keras, uterus berkontraksi baik, robekan terlihat
pada labia minora atau labia mayora dari muara vagina ke perineum, robekan luas
dari episiotomy, ekstensi episiotomy ke dalam kubah vagina, atau robekan pada
serviks.
e. Seksualitas
Uterus
kuat : kontraksi baik atau kontraksi parsial, dan agak menonjol (gestasi
multiple, polihidramnion, makrosomia), abrupsio plasenta, plasenta privia.
2. Pemeriksaan
Fisik meliputi : keadaan umun, tanda vital, pemeriksaan obstetric (inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi).
3. Pemeriksaan
Laboratorium meliputi : Hemaglobin (Hb 10 g/dl), Hematokrit (Hct 30 %).
H.
Adaptasi
dan Fisiologis Ibu Post Partum Spontan
Adaptasi
fisiologi ibu post partum spontan/normal menurut Bobak (2005) & Cunningham
(2006) dibagi menjadi beberapa sistem diantaranya yaitu :
1. Sistem
reproduksi
a. Uterus
Involusi
merupakan proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah
melahirakan, akibatnya otot – otot polos uterus berkontraksi pada waktu 12 jam,
tinggi fundus uteri mencapai ± 1 cm diatas umbilicus. Dalam beberapa hari
kemudian, perubahan fundus uteri turun kira- kira 1-2 cm setiap 24 jam.
b. Lokhea
Menurut
Saleha, 2009 lokhea adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan
vagina selama masa nifas. Berikut adalah beberapa jenis lokhea yang terdapat
pada wanita pada masa nifas :
1) Lokhea
rubra (cruenta) berwarna merah karena
berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, set-set desidua, verniks
caseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca persalinan. Inilah lokia yang
akan keluar selama 2-3 hari postpartum.
2) Lokhea
sanguilenta berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar pada hari
ke 3 sampai ke 7 pasca persalinan.
3) Lokhea
serosa adalah lokhea berikutnya. Dimulai dengan versi yang lebih pucat dari
lokhea rubra. Lokia ini berbentuk serum dan berwarna merah jambu kemudian menjadi
kuning. Cairan tidak berdarah lagi pada hari ke-7 sampai hari ke-14 pasca
persalinan.
4) Lokhea
alba adalah lokia yang terakhir. Lokhea alba me-ngandung terutama cairan serum,
jaringan desidua, leukosit dan eritrosit. Dimulai dari hari ke-14 sampai 1 atau
2 minggu berikutnya. Bentuknya seperti cairan putih berbentuk krim serta
terdiri atas leukosit dan sel-sel desidua.
c. Servik
Servik
menjadi lunak segera setelah melahirkan,
18 jam pasca partum, servik memendek dan konsentrasinya menjadi lebih padat dan
kembali ke bentuk semula.
d. Vagina
dan perineum
Estrogen
pasca partum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya
rugae vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran
sebelum hamil, 6–8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada
sekitar minggu ke-4, walaupun tidak akan semenonjol pada wanita nulipara.
e. Payudara
Setelah
bayi lahir terjadi penurunan konsentrasi hormone yang menstimulasi perkembangan
payudara estrogenm progesterone, human chorionic, gonadotropin, prolaktin, dan
insulin), oksitosin merangsang refleksi let-down (mengalirkan) menyebabkan
ejeksi ASI.
f. Abdomen
Setelah
melahirkan dinding perut longgar karena diregang begitu lama, sehingga otot –
otot dinding abdomen memisah, suatu keadaan yang dinamai diastasis rektus
abdominalis. Apabila menetap efek ini dapat dirasa mengganggu pada wanita,
tetapi seiring perjalanan waktu, efek tersebut menjadi kurang terlihat dan
dalam enam minggu akan pulih kembali.
2. Sistem
endokrin
Hormon plasenta kadar estrogen dan
progesteron menurun secara signifikan dan saat terendah adalah 1 minggu post
partum. Hormon hipofisis dan fungsi ovarium. Hipofisis dibagi menjadi dua,
yaitu hipofisis anterior dan posterior. Hipofisis anterior mengsekresi hormone
prolaktin untuk meningkatkan kelenjar mamae pembentukan air susu. Sedangkan
hipofisis posterior sangat penting untuk diuretic. Oksitosin membntu alveolus
mamae berkontraksi sehingga membantu mengalirkan ASI dari kelenjar mamae ke
puting susu.
3. Sistem
urinarius
a. Komponen
urin
BUN
(Blood Urea Nitrogen), yang meningkat selama masa pascapartum, merupakan akibat
otolisis uterus yang berinvolusi selama 1 – 2 hari setelah wanita melahirkan.
b. Diuresis
pasca partum
Dalam
12 jam setelah melahirkan, mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun di
jaringan selama hamil. Salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang
terentesi selama masa hamil ialah diaforesis luas, terutama pada malam hari,
selama 2 – 3 hari pertama setelah melahirkan.
c. Uretra
dan kandung kemih
Dinding
kandung kemih dapat mengalami hiperemesis dan edema, sering kali disertai
daerah-daerah kecil hemorargi. Pada masa pascapartum tahap lanjut, distensi
yang berlebihan dapat menyebabkan kandumg kemih lebih peka terhadap infeksi
sehingga mengganggu proses berkemih normal.
4. Sistem
pencernaan
Pemulihan defekasi secara normal terjadi
lambat dalam waktu 1 minggu. Hal ini disebabkan penurunan motilitas usus dan
gangguan kenyamanan pada perineum. Penurunan tonus dan mortilitas otot traktus
cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir.
5. Sistem
kardiovaskuler
Tekanan
darah sedikit berubah atau tetap. Hipotensi ortostatik, yang diindikasikan oleh
rasa pusing dan seakan ingin pingsan segera berdiri, dapat timbul dalam 48 jam
pertama. Nadi umumnya 60-80 denyut permenit dan segera setelah partus dapat
terjadi takikardi. Hemoglobin, hematokrit dan eritrosit akan kembali ke keadaan
semula sebelum melahirkan, namun jika ada indikasi pendarahan maka tidak
menutup kemungkinan Hb, Hct akan mengalami peningkatan.
6. Sistem
muskuloskeletal
Adaptasi sistem musculoskeletal ibu
terjadi selama masa hamil berlangsung secara lebih baik pada masa pasca partum.
Sebagian besar wanita melakukan ambulasi 4-8 jam setelah melahirkan. Stabilitas
sendi lengkap pada minggu ke 6–8 setelah melahirkan.
7. Perubahan
TTV
Temperatur
selama 24 jam pertama dapat meningkat sampai 38 derajat Celsius sebagai akibat
efek dehidrasi persalinan. Setelah 24 jam wanita harus tidak demam. Pernapasan
harus berada dalam rentan normal sebelum melahirkan.
8. Adaptasi
psikologi pada masa nifas
Periode
masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress pasca persalinan,
terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh Reva Rubin dikutip
dari Bobak (2005) yang terjadi pada tiga fase berikut ini :
a. Fase dependent (Taking
in period)
Terjadi
pada satu sampai dua hari setelah persalinan, ibu sangat pasif dan sangat
tergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih
mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, serta kebutuhan
tidur dan nafsu makan meningkat.
b. Fase
dependen-independent (Taking hold
period)
Berlangsung
tiga sampai empat hari post partum,
ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab
sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ibu menjadi sangat sensitif,
sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan
yang dialami ibu.
c. Fase Interdependen
(Letting go period)
Dialami
setelah ibu dan bayi tiba dirumah. Ibu mulai secara penuh menerima tanggung
jawab sebagai
“seorang ibu” dan menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada
dirinya.
9. Hiperpigmentasi
Hiperpigmentasi
di areola dan linea nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir. Kulit
meregang pada payudara, abdomen, paha dan panggul mungkin memudar, serta adanya
diaphoresis. Ciri yang paling khas adanya bekas luka sayatan operasi sesar di
sekitar abdomen.
Adaptasi lain yang muncul pada klien post partus spontan atau normal dengan manual plasenta antara lain
: nyeri pada daerah insisi, gelisah, mudah tersinggung, nafas tidak teratur,
selain itu dijumpai retensi urin dan takut untuk mobilisasi serta
ketidakmampuan untuk aktifitas.
I.
Diagnose
Keperawatan dan Fokus Intervensi
Menurut
Carpenito (2007) dan Herdman (2012), diagnosa beserta fokus intervensi dibagi
menjadi lima (5), yaitu :
1.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan aktif.
Mempertahankan keseimbangan volume cairan
adekuat.
|
Tujuan :
1.
Vital Sign dalam batas normal
2.
Balance cairan seimbang
3.
Turgor kulit baik
4.
Membrane mukosa lembab
5.
Kadar elektrolit, Hct dan Hb normal
|
Criteria
hasil :
Intervensi :
a. Tinjau
ulang catatan kehamilan dan persalinan, perhatikan factor-faktor penyebab atau
pemberat pada situasi hemoragi (laserasi, fragmen plasenta tertahan, sepsis,
abrupsio plasenta, emboli cairan amnion).
Rasional : Membantu
dalam membuat rencana keperawatan yang tepat dan pencegahan terhadap
komplikasi.
b. Kaji
dan catat jumlah, tipe dan sisi pendarahan.
Rasional : Perkiraan
kehilangan darah, arterial versus vena membantu menentukan kebutuhan pengganti.
c. Pantau
masukan dan keluaran, perhatikan jenis berat urine.
Rasional : Bermanfaat
dalam memperkirakan luas/signifikasi kehilangan cairan.
d. Berikan
cairan pengganti (infuse cairan isotonic atau elektrolit)
Rasional : Menggati
cairan yang hilang selama pengeluaran.
e. Kolaborasi
dalam pemberian terapib sesuai indikasi (oksitoksin, methylergonovin maleat,
prostaglandin F2 alfa dan terapi antibiotik).
Rasional : Meningkatkan
kontraksilitas dari uterus yang menonjol dan miometrium, menutup sinus vena
yang terpajan, dan menghentikan hemoragi, antibiotic bertindak secara
profilaktik untuk mencegah infeksi.
2.
Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan
luka, trauma jaringan, prosedur invasive.
Infeksi tidak
terjadi
|
1.
Tidak ada tanda-tanda infeksi
2.
Vital Sigh dalam batas normal
3.
Angka Leukosit, Hb, LED, Albumin, Ig M, Ig E, dalam
batas normal
|
Creiteria
hasil :
Intervensi :
a. Demonstrasikan
perawatan diri yang benar, tinjau ulang cara yang tepat untuk menangani dan
membuang material yang ter-kontaminasi seperti pembalut, tissue, balutan.
Rasional : Mencegah
kontaminasi silang/penyebaran organism infeksius.
b. Perhatikan
perubahan tanda vital, gejala malaise, menggigil, anoreksia, nyeri tekan uterus
atau nyeri pelvis.
Rasional : Peningkatan
suhu 380C atau lebih merupakan tanda-tanda infeksi, gejala malaise,
menggigil, anoreksia, nyeri tekan uterus atau nyeri pelvis menandakan keterlibatan
sistemik dan dapat menyebabkan kematian.
c. Kaji
keadaan Hb, dan Hct.
Rasional : Anemia
sering menyertai infeksi, memperlambat pemulihan, dan merusak system imun.
d. Berikan
suplemen zat gizi sesuai indikasi.
Rasional : sebagai
terapi untuk pemulihan.
3.
Nyeri berhubungan dengan trauma atau distensi
jaringan, kerusakan jaringan, proses inflamasi.
Nyeri
teratasi, berkurang atau hilang.
|
Pasien
mampu mengidentifikasikan dan menggunakan strategi untuk mengatasi nyeri
serta mengungkapkan berkurangnya nyeri, pasien tampak rileks, skala nyeri
berkurang 0-2.
|
Criteria
hasil :
Intervensi
a. Tentukan
karekteristik, tipe, lokasi dan durasi nyeri.
Rasional : Membantu
dalam penentuan diagnose banding dan pemilihan metode tindakan.
b. Kaji
kemungkinan penyebab psikologis dari ketidaknyamanan.
Rasional : Situasi
darurat dapat mencetuskan rasa takut dan ansietas, yang memperberat persepsi
ketidaknyamanan.
c. Berikan
tindakan kenyamanan seperti pemberian kompres es atau lampu pemanas pada
penyembuhan episiotomy.
Rasional : Kompres
dingin meminimalkan edema dan sensasi nyeri.
d. Ajarkan
teknik relaksasi seperti progresif dan distraksi.
Rasional : Mengurangi
sensasi nyeri.
e.
Kolaborasi dalam pemberian analgetik, narkotok,
sedative sesuai indikasi.
Menurunkan
nyeri dan ansietas serta meningkatkan relaksasi.
|
Rasional :
4.
Resiko pendarahan berhubungan dengan komplikasi post
partum (retensio plasenta)
Pendarahan
tidak terjadi.
|
1. Konjungtiva
tidak anemis
2. Hb
dan Hct dalam batas normal
3. Pasien
tidak lemas
|
Criteria
hasil :
Intervensi
a. Observasi
keadaan umum meliputi keluhan dan konjungtiva.
Rasional : Pasien
tampak lemah dengan konjungtiva anemis adalah salah satu tanda anemia.
b. Identifikasi
pengetahuan pasien tentang anemia dan jelaskan penyebab dari anemia.
Rasional : Memudahkan
perawat dalam memberikan penjelasan terkait anemia.
c. Anjurkan
pasien untuk tirah baring.
Rasional : Pasien
banyak memerlukan waktu istirahat dengan suasana yang kondusif dan tenang.
d. Kolaborasi
dalam pemberian :
1) Pemberian
nutrisi yang adekuat (TKTP)
2) Pemberian
tranfusi jika diperluakan.
Rasional
: Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien dan transfuse darah dibutuhkan untuk
mencegah anemia lebih lanjut.
5.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang perawatan pasca melahirkan.
Pengetahuan pasien meningkat mengenai
penyakitnya dan perawatann ibu pasca melahirkan.
|
Tujuan :
Pasien mampu menjawab pertanyaan perawat dan mampu
mendemonstrasikan ulang apa yang diajarkan. perawat.
|
Criteria
hasil :
Intervensi
a. Ciptakan
lingkungan kondusif untuk belajar.
b. Kaji
ulang pengetahuan pasien tentang perawatan pasca melahirkan.
c. Berikan
informasi tentang perawatan pasca melahirkan selama dirumah.
d. Lakukan
pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang pemberian obat yang
benar, pengaturan diit dan hal yang harus di hindari.
e. Berikan
kesempatan kesempatan pada pasien dan keluarga untuk bertanya.
f. Lakukan
evaluasi terhadap tindakan.
No comments:
Post a Comment