Sunday 9 September 2018

Makalah retensio plasenta


LANDASAN TEORI

A.    Pengertian
Persalinan adalah proses fisiologis yang akan dialami wanita untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang hidup dari uterus, sedangkan pasca persalinan adalah waktu penyembuhan untuk kembali kepada keadaan tidak hamil dan penyesuaian terhadap penambahan keluarga baru mulai dari selesai persalinan sampai kira-kira 6 minggu,  tetapi alat genital baru pulih 3 bulan setelah persalinan (Bobak, Irena. M. 2005).
Partus biasa atau partus normal adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala (LBK) dengan tenaga ibu , tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Sedangkan partus spontan merupakan persalinan melalui vagina tanpa bantuan peralatan khusus. Sepenuhnya mengandalkan tenaga dan usaha ibu. Persalinan dapat terjadi pada presentasi kepala atau persalinan normal atau presentasi bokong atau sungsang (Mochtar, Rustam. 2011).
Retensio plasenta di definisikan sebagai belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. jika diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta (Manuaba. 2006).
Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal ke dinding uterus. Akibat ketiadaan total atau parsial desidua basalis dan ketidak sempurnaan perkembangan lapisan Nitabuch atau fibrinoid (Cunningham, F. Gary. 2013).

B.     Etiologi
Penyebab retensio plasenta menurut Sastrawinata, 2006 adalah :
1.      Fungsional :
a.       His atau kontraksi kurang kuat.
b.      Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena sebab di atas disebut plasenta adhesive.
2.      Patologi – anatomi :
a.       Plasenta akreta
b.      Plasenta inkreta
c.       Plasenta perkreta
Belum lahirnya plasenta dapat juga disebabkan karena belum lepasnya plasenta dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesive), plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium atau hingga mencapai bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, dapat disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkaserata plasenta).

C.    Pathofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang belum terlepas mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapisan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan terjadi pelepasan plasenta (Prawiroharjo, S. 2007).
Dalam keadaan normal, decidua basalis terletak di antara myometrium dan plasenta. Lempeng pembelahan bagi bagi pemisahan plasenta berada dalam lapisan decidua basalis yang mirip spons. Pada plasenta akreta, decidua basalis tidak ada sebagian atau seluruhnya sehingga plasenta melekat langsung pada myometrium. Villi tersebut bisa tetap supervisial pada otot uterus atau dapat menembus lebih dalam karena adanya defek pada decidua. Pada daerah superfisal myometrium tumbuh sejumlah besar saluran vena di bawah plasenta. Ruptura sinus-sinus ini yang terjadi ketika plasenta dikeluarkan secara paksa akan menimbulkan perdarahan dalam jumlah banyak (Hary Oxorn & William. 2010).



A.    Anatomi Plasenta
Harry Oxorn dan William R. Forte, 2010 dalam bukunya Human Labort & Birth,, mengungkapkan normalnya Plasenta berbentuk cakram yang bundar atau lonjong (oval), mempunyai ukuran 20 x 15 cm dengan tebal 1.5 sampai 2.0 cm, berat plasenta yang biasanya 20% dari berat janin berkisar antara 425 dan 550 g.
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Pada dasarnya plasenta berasal dari sebagian besar bagian janin, yaitu vili koriales yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari decidua basalis. Darah ibu yang berada dari ruang interviller berasal dari spiral arteries yang berada di decidua basalis. Pada tekanan systole 70-80 mmHg darah di alirkan ke dalam ruang interviller hingga mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili koriales dan kembali perlahan-;ahan dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena decidua basalis (Williams Obstetrics, 2013).
Fungsi utama plasenta adalah transfer nutrien dan zat sisa antara ibu dan janin (meliputi fungsi respirasi, ekskresi dan nutritif), menghasilkan hormon dan enzim yang dibutuhkan untuk memelihara kehamilan, sebagai barier dan imunologis. Fungsi transfer tergantung kepada sifat fisik zat yang mengalami transfer dalam darah ibu maupun janin, integritas fungsi membrana plasenta (exchange membrane) dan kecepatan aliran darah pada kedua sisi exchang membrane ibu dan janin (Mitayani, 2009).
B.     Jenis-jenis Retensio Plasenta
Jenis-jenis retensio plasenta diantaranya :
1.      Plasenta Adhesive, dimana terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2.      Plasenta Akreta, implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
3.      Plasenta Inkreta, implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
4.      Plasenta Prekreta, implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa dinding uterus hingga ke peritorium.
5.      Plasenta Inkarserata, tertahannya plasenta didalam kavum uteri disebabkan oleh kontraksi ostium uteri.
(Sarwono, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)

C.    Manifestasi Klinis
1.      Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal meminta informasi mengenai episode pendarahan post partum sebelumnya, paritas, serta riwayat multiple fetus dan polihibranion. Serta riwayat post partum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul pendarahan aktif setelah bayi di lahirkan.
2.      Pada pemeriksaan pervaginaan, plasenta tidak ditemukan dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
(Prawirohardjo, S. 2002)
Tanda dan gejala retensio plasenta terbagi menjadi :
1.      Plasenta Akreta Parsial/Separasi
Konsistensi uterus kenyal, TFU setinggi pusat, bentuk uterus discoid, pendarahan sedang banyak, tali pusat terjulur sebagian, ostium uteri terbuka, separasi plasenta lepas sebagian, syok sering.
2.      Plasenta Akreta
Konsistensi uterus cukup, TFU setinggi pusat, bentuk uterus discoid, pendarahan sedikit atau tidak ada, tali pusat tidak terjulur, ostium uteri terbuka, separasi plasenta melekat seluruhnya, syok jarang sekali, kecuali akibat inversion oleh tarikan kuat pada tali pusat.
(dr. Taufan Nugroho, 2012)

D.    Komplikasi
Menurut Mitayani, 2011 beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien post manual plasenta diantaranya :
1.      Pendarahan, terjadi terlebih lagi bila retensio plasenta terdapat sedikit perlepasan hingga kontraksi memompa darah tetapi bagian yang melekat membuat luka tidak tertutup.
2.      Infeksi, plasenta yang tertinggal di dalam rahim meningkatkan per-tumbuhan bakteri dibantu dengan port d’entre dari tempat perlengketan plasenta.
3.      Dapat terjadi plasenta inkarserata dimana plasenta melekat terus sedang-kan kontraksi pada ostium baik.
4.      Terjadi polip plasenta sebagai massa poliferative yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah menjadi (displastik-diskarotik) dan akhirnya menjadi karsinoma invasive. Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan berjalan terus.

E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Hitung darah lengkap, untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai infeksi , leukosit biasanya meningkat lebih tinggi.
2.      Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin Time (PT) dan Activated Partial Tromboplastin Time (APTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh factor lain.

F.     Penatalaksaan
Penatalaksanaan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah sebagai berikut :
1.      Resusitasi, pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2.      Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3.      Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4.      Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5.      Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6.      Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7.      Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
(dr. Tufan Bugroho, 2012)

G.    Pengkajian Keperawatan
Beberapa hal yang perlu di kaji dalam asuhan keperawatan ibu dengan post partum spontan yang disertai retensio plasenta adalah :
1.      Identitas pasien
Berupa data biologis/fisiologis yang meliputi : keluhan utama, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, riwayat obstetric (GPA, riwayat kehamilan, persalinan dan nifas), serta pola kegiatan sehari-hari sebagai berikut :
a.       Sirkulasi :
1)      Perubahan tekanan darah, nadi dan suhu.
2)      Pucat, kulit dingin atau lembab.
3)      Perdarahan vena gelap dari uterus ada secara eksternal (plasenta tertahan).
4)      Dapat mengalami perdarahan vagina berlebihan.
5)      Haemoragi berat/gejala syok diluar proporsi jumlah kehilangan darah.

b.      Eliminasi
Kaji keadaan kandung kemih, lihat ada tidaknya kandungan urine. Kandung kemih yang bulat dan lembut menunjukkan jumlah urine yang tertampung banyak sehingga dapat mengganggu involusi uteri dan harus segera di keluarkan.
c.       Ketidaknyamanan atau nyeri
Sensasi nyeri terbakar/robekan (laserasi), nyeri tekan abdominal (fragmen plasenta tertahan) dan nyeri uterus lateral.
d.      Keamanan
Laserasi jalan lahir  : darah tampak (terkadang tersembunyi) dengan uterus keras, uterus berkontraksi baik, robekan terlihat pada labia minora atau labia mayora dari muara vagina ke perineum, robekan luas dari episiotomy, ekstensi episiotomy ke dalam kubah vagina, atau robekan pada serviks.
e.       Seksualitas
Uterus kuat : kontraksi baik atau kontraksi parsial, dan agak menonjol (gestasi multiple, polihidramnion, makrosomia), abrupsio plasenta, plasenta privia.
2.      Pemeriksaan Fisik meliputi : keadaan umun, tanda vital, pemeriksaan obstetric (inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi).
3.      Pemeriksaan Laboratorium meliputi : Hemaglobin (Hb 10 g/dl), Hematokrit (Hct 30 %).

H.    Adaptasi dan Fisiologis Ibu Post Partum Spontan
Adaptasi fisiologi ibu post partum spontan/normal menurut Bobak (2005) & Cunningham (2006) dibagi menjadi beberapa sistem diantaranya yaitu :
1.      Sistem reproduksi
a.       Uterus
Involusi merupakan proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirakan, akibatnya otot – otot polos uterus berkontraksi pada waktu 12 jam, tinggi fundus uteri mencapai ± 1 cm diatas umbilicus. Dalam beberapa hari kemudian, perubahan fundus uteri turun kira- kira 1-2 cm setiap 24 jam.
b.      Lokhea
Menurut Saleha, 2009 lokhea adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan vagina selama masa nifas. Berikut adalah beberapa jenis lokhea yang terdapat pada wanita pada masa nifas :
1)      Lokhea rubra (cruenta) berwarna merah karena berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, set-set desidua, verniks caseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca persalinan. Inilah lokia yang akan keluar selama 2-3 hari postpartum.
2)      Lokhea sanguilenta berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar pada hari ke 3 sampai ke 7 pasca persalinan.

3)      Lokhea serosa adalah lokhea berikutnya. Dimulai dengan versi yang lebih pucat dari lokhea rubra. Lokia ini berbentuk serum dan berwarna merah jambu kemudian menjadi kuning. Cairan tidak berdarah lagi pada hari ke-7 sampai hari ke-14 pasca persalinan.
4)      Lokhea alba adalah lokia yang terakhir. Lokhea alba me-ngandung terutama cairan serum, jaringan desidua, leukosit dan eritrosit. Dimulai dari hari ke-14 sampai 1 atau 2 minggu berikutnya. Bentuknya seperti cairan putih berbentuk krim serta terdiri atas leukosit dan sel-sel desidua.
c.       Servik
Servik menjadi lunak  segera setelah melahirkan, 18 jam pasca partum, servik memendek dan konsentrasinya menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.
d.      Vagina dan perineum
Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum hamil, 6–8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada sekitar minggu ke-4, walaupun tidak akan semenonjol pada wanita nulipara.


e.       Payudara
Setelah bayi lahir terjadi penurunan konsentrasi hormone yang menstimulasi perkembangan payudara estrogenm progesterone, human chorionic, gonadotropin, prolaktin, dan insulin), oksitosin merangsang refleksi let-down (mengalirkan) menyebabkan ejeksi ASI.
f.       Abdomen
Setelah melahirkan dinding perut longgar karena diregang begitu lama, sehingga otot – otot dinding abdomen memisah, suatu keadaan yang dinamai diastasis rektus abdominalis. Apabila menetap efek ini dapat dirasa mengganggu pada wanita, tetapi seiring perjalanan waktu, efek tersebut menjadi kurang terlihat dan dalam enam minggu akan pulih kembali.

2.      Sistem endokrin
Hormon plasenta kadar estrogen dan progesteron menurun secara signifikan dan saat terendah adalah 1 minggu post partum. Hormon hipofisis dan fungsi ovarium. Hipofisis dibagi menjadi dua, yaitu hipofisis anterior dan posterior. Hipofisis anterior mengsekresi hormone prolaktin untuk meningkatkan kelenjar mamae pembentukan air susu. Sedangkan hipofisis posterior sangat penting untuk diuretic. Oksitosin membntu alveolus mamae berkontraksi sehingga membantu mengalirkan ASI dari kelenjar mamae ke puting susu.

3.      Sistem urinarius
a.       Komponen urin
BUN (Blood Urea Nitrogen), yang meningkat selama masa pascapartum, merupakan akibat otolisis uterus yang berinvolusi selama 1 – 2 hari setelah wanita melahirkan.
b.      Diuresis pasca partum
Dalam 12 jam setelah melahirkan, mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun di jaringan selama hamil. Salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang terentesi selama masa hamil ialah diaforesis luas, terutama pada malam hari, selama 2 – 3 hari pertama setelah melahirkan.
c.       Uretra dan kandung kemih
Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemesis dan edema, sering kali disertai daerah-daerah kecil hemorargi. Pada masa pascapartum tahap lanjut, distensi yang berlebihan dapat menyebabkan kandumg kemih lebih peka terhadap infeksi sehingga mengganggu proses berkemih normal.

4.      Sistem pencernaan
Pemulihan defekasi secara normal terjadi lambat dalam waktu 1 minggu. Hal ini disebabkan penurunan motilitas usus dan gangguan kenyamanan pada perineum. Penurunan tonus dan mortilitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir.
5.      Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah sedikit berubah atau tetap. Hipotensi ortostatik, yang diindikasikan oleh rasa pusing dan seakan ingin pingsan segera berdiri, dapat timbul dalam 48 jam pertama. Nadi umumnya 60-80 denyut permenit dan segera setelah partus dapat terjadi takikardi. Hemoglobin, hematokrit dan eritrosit akan kembali ke keadaan semula sebelum melahirkan, namun jika ada indikasi pendarahan maka tidak menutup kemungkinan Hb, Hct akan mengalami peningkatan.

6.      Sistem muskuloskeletal
Adaptasi sistem musculoskeletal ibu terjadi selama masa hamil berlangsung secara lebih baik pada masa pasca partum. Sebagian besar wanita melakukan ambulasi 4-8 jam setelah melahirkan. Stabilitas sendi lengkap pada minggu ke 6–8 setelah melahirkan.

7.      Perubahan TTV
Temperatur selama 24 jam pertama dapat meningkat sampai 38 derajat Celsius sebagai akibat efek dehidrasi persalinan. Setelah 24 jam wanita harus tidak demam. Pernapasan harus berada dalam rentan normal sebelum melahirkan.



8.      Adaptasi psikologi pada masa nifas
Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress pasca persalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh Reva Rubin dikutip dari Bobak (2005) yang terjadi pada tiga fase berikut ini :
a.       Fase dependent (Taking in period)
Terjadi pada satu sampai dua hari setelah persalinan, ibu sangat pasif dan sangat tergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat.
b.      Fase dependen-independent  (Taking hold period)
Berlangsung tiga sampai empat hari post partum, ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ibu menjadi sangat sensitif, sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang dialami ibu.
c.       Fase Interdependen (Letting go period)
Dialami setelah ibu dan bayi tiba dirumah. Ibu mulai secara penuh menerima tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.

9.      Hiperpigmentasi
Hiperpigmentasi di areola dan linea nigra tidak menghilang seluruhnya setelah bayi lahir. Kulit meregang pada payudara, abdomen, paha dan panggul mungkin memudar, serta adanya diaphoresis. Ciri yang paling khas adanya bekas luka sayatan operasi sesar di sekitar abdomen.
Adaptasi lain yang muncul pada klien post partus spontan atau normal dengan manual plasenta antara lain : nyeri pada daerah insisi, gelisah, mudah tersinggung, nafas tidak teratur, selain itu dijumpai retensi urin dan takut untuk mobilisasi serta ketidakmampuan untuk aktifitas.


I.       Diagnose Keperawatan dan Fokus Intervensi
Menurut Carpenito (2007) dan Herdman (2012), diagnosa beserta fokus intervensi dibagi menjadi lima (5), yaitu :
1.     

Mempertahankan keseimbangan volume cairan adekuat.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.
Tujuan             :

1.      Vital Sign dalam batas normal
2.      Balance cairan seimbang
3.      Turgor kulit baik
4.      Membrane mukosa lembab
5.      Kadar elektrolit, Hct dan Hb normal

Criteria hasil    :




Intervensi        :
a.       Tinjau ulang catatan kehamilan dan persalinan, perhatikan factor-faktor penyebab atau pemberat pada situasi hemoragi (laserasi, fragmen plasenta tertahan, sepsis, abrupsio plasenta, emboli cairan amnion).
Rasional : Membantu dalam membuat rencana keperawatan yang tepat dan pencegahan terhadap komplikasi.
b.      Kaji dan catat jumlah, tipe dan sisi pendarahan.
Rasional : Perkiraan kehilangan darah, arterial versus vena membantu menentukan kebutuhan pengganti.
c.       Pantau masukan dan keluaran, perhatikan jenis berat urine.
Rasional : Bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikasi kehilangan cairan.
d.      Berikan cairan pengganti (infuse cairan isotonic atau elektrolit)
Rasional : Menggati cairan yang hilang selama pengeluaran.
e.       Kolaborasi dalam pemberian terapib sesuai indikasi (oksitoksin, methylergonovin maleat, prostaglandin F2 alfa dan terapi antibiotik).
Rasional : Meningkatkan kontraksilitas dari uterus yang menonjol dan miometrium, menutup sinus vena yang terpajan, dan menghentikan hemoragi, antibiotic bertindak secara profilaktik untuk mencegah infeksi.

2.     

Infeksi tidak terjadi
Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka, trauma jaringan, prosedur invasive.

1.      Tidak ada tanda-tanda infeksi
2.      Vital Sigh dalam batas normal
3.      Angka Leukosit, Hb, LED, Albumin, Ig M, Ig E, dalam batas normal

Tujuan             :
Creiteria hasil  :



Intervensi        :
a.       Demonstrasikan perawatan diri yang benar, tinjau ulang cara yang tepat untuk menangani dan membuang material yang ter-kontaminasi seperti pembalut, tissue, balutan.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang/penyebaran organism infeksius.
b.      Perhatikan perubahan tanda vital, gejala malaise, menggigil, anoreksia, nyeri tekan uterus atau nyeri pelvis.
Rasional : Peningkatan suhu 380C atau lebih merupakan tanda-tanda infeksi, gejala malaise, menggigil, anoreksia, nyeri tekan uterus atau nyeri pelvis menandakan keterlibatan sistemik dan dapat menyebabkan kematian.
c.       Kaji keadaan Hb, dan Hct.
Rasional : Anemia sering menyertai infeksi, memperlambat pemulihan, dan merusak system imun.
d.      Berikan suplemen zat gizi sesuai indikasi.
Rasional : sebagai terapi untuk pemulihan.

3.     

Nyeri teratasi, berkurang atau hilang.
Nyeri berhubungan dengan trauma atau distensi jaringan, kerusakan jaringan, proses inflamasi.

Pasien mampu mengidentifikasikan dan menggunakan strategi untuk mengatasi nyeri serta mengungkapkan berkurangnya nyeri, pasien tampak rileks, skala nyeri berkurang 0-2.

Tujuan             :
Criteria hasil    :



Intervensi
a.       Tentukan karekteristik, tipe, lokasi dan durasi nyeri.
Rasional : Membantu dalam penentuan diagnose banding dan pemilihan metode tindakan.
b.      Kaji kemungkinan penyebab psikologis dari ketidaknyamanan.
Rasional : Situasi darurat dapat mencetuskan rasa takut dan ansietas, yang memperberat persepsi ketidaknyamanan.
c.       Berikan tindakan kenyamanan seperti pemberian kompres es atau lampu pemanas pada penyembuhan episiotomy.
Rasional : Kompres dingin meminimalkan edema dan sensasi nyeri.
d.      Ajarkan teknik relaksasi seperti progresif dan distraksi.
Rasional : Mengurangi sensasi nyeri.
e.      

Menurunkan nyeri dan ansietas serta meningkatkan relaksasi.
Kolaborasi dalam pemberian analgetik, narkotok, sedative sesuai indikasi.
Rasional :


4.     

Pendarahan tidak terjadi.

Resiko pendarahan berhubungan dengan komplikasi post partum (retensio plasenta)

1.      Konjungtiva tidak anemis
2.      Hb dan Hct dalam batas normal
3.      Pasien tidak lemas

Tujuan             :
Criteria hasil    :





Intervensi
a.       Observasi keadaan umum meliputi keluhan dan konjungtiva.
Rasional : Pasien tampak lemah dengan konjungtiva anemis adalah salah satu tanda anemia.
b.      Identifikasi pengetahuan pasien tentang anemia dan jelaskan penyebab dari anemia.
Rasional : Memudahkan perawat dalam memberikan penjelasan terkait anemia.
c.       Anjurkan pasien untuk tirah baring.
Rasional : Pasien banyak memerlukan waktu istirahat dengan suasana yang kondusif dan tenang.
d.      Kolaborasi dalam pemberian :
1)      Pemberian nutrisi yang adekuat (TKTP)
2)      Pemberian tranfusi jika diperluakan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien dan transfuse darah dibutuhkan untuk mencegah anemia lebih lanjut.

5.     

Pengetahuan pasien meningkat mengenai penyakitnya dan perawatann ibu pasca melahirkan.

Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang perawatan pasca melahirkan.
Tujuan             :

Pasien mampu menjawab pertanyaan perawat dan mampu mendemonstrasikan ulang apa yang diajarkan. perawat.

 

Criteria hasil    :

Intervensi
a.       Ciptakan lingkungan kondusif untuk belajar.
b.      Kaji ulang pengetahuan pasien tentang perawatan pasca melahirkan.
c.       Berikan informasi tentang perawatan pasca melahirkan selama dirumah.
d.      Lakukan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang pemberian obat yang benar, pengaturan diit dan hal yang harus di hindari.
e.       Berikan kesempatan kesempatan pada pasien dan keluarga untuk bertanya.
f.       Lakukan evaluasi terhadap tindakan.


No comments:

Post a Comment

Makalah Asfiksia

LANDASAN TEORI A.     Pengertian Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terl...