TINJAUAN
TEORI
A.
Pengertian
Menurut Jitowiyono dan Weni (2011:
76) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram. Sedangkan menurut Hassan dan
Husein (2005: 1051-1052) dahulu bayi baru lahir kurang dari 2500 gram disebut premature.
Untuk mendapatkan keseragaman pada kongres European Perinatal
Medicine II di London (1970), telah disusun definisi sebagai berikut:
1. Preterm infant (premature)
atau bayi kurang bulan: bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu (259
hari).
2. Term infant
atau bayi cukup bulan: bayi dengan masa kehamilan mulai dari 37 minggu sampai
42 minggu (259-293 hari).
3. Post term
atau bayi lebih bulan: bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih
(294 hari atau lebih).
Berdasarkan
pengertian yang diterangkan di atas bayi dengan BBLR dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu :
1.
Prematur murni
Masa getasinya kurang dari 37
minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa getasi itu atau
biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan.
2.
Dismature
Bayi baru lahir dengan berat badan
kurang dari berat badan seharusnya untuk masa getasi itu. Berarti bayi mengalami retradasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang
kecil untuk masa kehamilannya.
Menurut Deslidel et al (2011: 107) berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir
dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram. Menurut beratnya dibedakan
menjadi:
1. Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) berat lahir 1000-2500 gram.
2. Bayi
Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500 gram.
3. Bayi
Berat Lahir Rendah Ekstrem Rendah (BBLER) berat lahir <1000 gram.
B. Etiologi
Menurut
Maryunani dan Eka (2013: 316-319) penyebab BBLR dengan prematur murni
dan dismatur berbeda, berikut perbedaan antara keduanya:
1. Prematur
murni
a. Faktor
ibu
1)
Riwayat kelahiran prematur sebelumnya
2)
Gizi saat hamil kurang
3)
Umur kurang dari 20 tahun atau di atas
35 tahun
4)
Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat
5)
Penyakit menahun ibu
a) Hipertensi
b) Gangguan
pembuluh darah
6)
Perdarahan antepartum, kelainan uterus,
hidramnion
7)
Faktor pekerjaan yang terlalu berat
b. Faktor
kehamilan:
1)
Hamil dengan hidramnion
2)
Hamil ganda
3)
Perdarahan antepartum
4)
Preeklamsia
5)
Eklamsi
6)
Ketuban pecah dini
c. Faktor
janin:
1)
Cacat bawaan
2)
Infeksi dalam rahim
3)
Kehamilan ganda
4)
Anomali kongenital
d. Faktor
kebiasaan:
1)
Pekerjaan yang terlalu berat
2)
Perokok
2. Dismature
a. Faktor
ibu
1) Hipertensi
2) Penyakit
ginjal kronik
3) Perokok
4) Penderita
hipertensi
5) Penderita
diabetes militus yang berat
6) Toksemia
7) Hipoksia
ibu
8) Gizi
buruk
9) Pemakai
narkoba dan peminum alkohol
b. Faktor
uteri dan plasenta
1) Kelainan
pembuluh darah
2) Insersi
tali pusat yang tidak normal
3) Uterus bicornis
4) Infark
plasenta
5) Sebagian
plasenta lepas
c. Faktor
janin
1) Gemeli
2) Kelainan
kromosom
3) Cacat
bawaan
4)
Infeksi dalam kandungan (toxoplasmosis, rubella, herpez, sifilis,
sitomegalo virus)
Patway
A. Manifestaasi Klinis
Menurut Jitowiyono dan Weni (2011: 78-79) manifestasi
klinis dari BBLR prematuritas murni dan BBLR dismaturitas berbeda, berikut
manifestasi klinis dari BBLR prematuritas
murni dan BBLR dismaturitas :
Tabel
2.1 Manifestasi Klinis
BBLR Prematuritas
|
BBLR Dismaturitas
|
1.
Kulit tipis dan transparan, tampak mengkilat dan
licin.
2.
Kepala lebih besar dari badan
3.
Lanugo banyak terutama pada dahi, pelipis telinga
dan lengan.
4.
Lemak subkutan kurang
5.
Ubun-ubun dan sutura lebar
6.
Genetalia belum sempurna, labia minor belum
tertutup oleh labia mayor (pada wanita), testis belum turun (pada laki-laki)
7.
Pembuluh darah kulit banyak terlihat
8.
Bayi lebih banyak tidur dari pada bangun
9.
Rambut tipis dan halus
10.
Tulang rawan dan daun telinga imatur
11.
Bayi masih dalam posisi fetal
12.
Pergerakan kurang dan lemah
13.
Pernafasaan belum teratur dan sering terjadi apnoe
14.
Reflek menhisap dan menelan kurang
|
1.
Kulit pucat/ bernod
2.
Mekonium kering
3.
Vernix caseosa tipis/ tidak
ada
4.
Jaringan lemak di bawah kulit tipis
5.
Tali pusat berwarna kuning kehijauan
6.
Bayi tampak gesit, aktif dan kuat
|
B. Pemeriksaan Penunjang
Menurut
pantiawati (2010 :19-23) dan pemeriksaan
yang dapat dilakukan pada BBLR, diantaranya:
1. Pemeriksaan
Ballard
Ballard merupakan penilaian
maturitas neonatus berdasarkan 7 tanda
kematangan fisik dan 6 tanda kematangan neuromuskular. Penilaian dilakukan dengan cara:
a. Menilai
7 tanda kematangan fisik
Tabel 2.2 Ciri
Kematangan Fisik Menurut Ballard
Nilai
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Kulit
|
Merah seperti
agar transparan
|
Merah muda
licin/ halus tampak vena
|
Permukaan
mengelupas dengan/ tanpa ruam, sedikit vena menipis
|
Daerah pucat
retak-retak, vena jarang
|
Seperti
kertas, retak lebih dalam, tidak ada vena
|
Retak-retak,
mengerut
|
Lanugo
|
Tidak ada
|
Banyak
|
Menipis
|
menghilang
|
Umumnya tidak
ada
|
|
Lipatan
plantar
|
Tidak ada
|
Tanda merah
sangat sedikit
|
Hanya lipatan
anterior yang melintang
|
Lipatan 2/3
anterior
|
Lipatan
diseluruh telapak
|
|
Payudara
|
Hampir tidak
ada
|
Areola datar,
tidak ada tonjolan
|
Areola seperti
titik, tonjolan 1-2 mm
|
Areola lebih
jelas, tonjolan 3-4 mm
|
Areola penuh
tonjolan 5-10 mm
|
|
Daun telinga
|
Datar, tetap
terlipat
|
Sedikit
melengkung, lunak lambat membalik
|
Bentuknya
lebih baik, lunak, mudah membalik
|
Bentuk
sempurna, membalik seketika
|
Tulang rawan
tebal, telinga kaku
|
|
Kelamin
laki-laki
|
Skromum
kosong, tidak ada ruga
|
Testis turun,
sedikit ruga
|
Testis
dibawah, ruganya bagus
|
Testis
bergantung, ruganya dalam
|
||
Kelamin
perempuan
|
Klitoris dan
labia minor menonjol
|
Labia mayor
dan minor sama menonjol
|
Klitoris dan
labia minora ditutupi labia mayora
|
b. Menilai
6 tanda kematangan neurologik
Tabel 2.3
Kematangan Neuromuskular
c. Hasil
penilaian aspek kematangan fisik dan neurologik dijumlah
d. Jumlah
nilai kedua aspek kematangan tersebut
dicocokan dengan tabel patokan tingkat menurut Ballard
Tabel 2.4 Penilaian
Tingkat Kematangan
No
|
Nilai
|
Minggu
|
1.
|
5
|
26
|
2.
|
10
|
28
|
3.
|
15
|
30
|
4.
|
20
|
32
|
5.
|
25
|
34
|
6.
|
30
|
36
|
7.
|
35
|
38
|
8.
|
40
|
40
|
9.
|
45
|
42
|
10.
|
50
|
44
|
2. Tes
kocok (shake test) dianjurkan untuk
bayi kurang bulan
3. Darah
rutin
Menurut Green dan Judith (2012:
867) darah rutin merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada BBLR
untuk mendeteksi anemia atau kehilangan darah (penurunan Hematrokrit dan
Hemoglobin), penurunan sel darah mereh dan trombosit serta abnormalitas hitung
sel darah putih dan diferensial yang dapat mengindikasikan infeksi.
4. Glukosa
serum
Menurut Green dan Judith (2012:
866) jika chemstrip atau dextrostix
menunjukan kurang dari 45 mg/dl (chemstrip
atau dextrostix untuk mendeteksi adanya hipoglikemia).
5. Kadar
elektrolit serum
Menurut Green dan Judith (2012:
867) pemeriksaan kadar elektrolit serum dilakukan untuk menentukan kalium,
natrium, magnesium dan kadar elektrolit lainnya.
6. Analisa
gas darah (tergantung klinis)
Menurut Green dan Jidith (2012:
867) pemeriksaan analisa gas darah dilakukan untuk mengetahui perubahan PH, PO2,
PCO2 atau HCO3 yang mengidentiikasi asidosis, sepsis, dan
masalah pernafasaan.
7. Foto
dada ataupun babygram
Menurut Pantiawati (2010: 54) diperlukan
pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang bulan dan mengalami sindrom
gangguan napas.
8. Analisis
Feses
Menurut Green dan Judith (2012:
867) untuk mendeteksi darah samar, yang mungkin merupakan tanda NEC (Feses pertama biasanya positif
karena darah tertelan selama pelahiran).
C. Penatalaksanaan
Menurut Deslidel et al (2011: 109-110) penatalaksanaan BBLR meliputi 3 tahap yaitu:
1. Ante
intrapartum
Setiap persalinan dipertahankan
aterm. Apabila ada gawat janin,
kehamilan dipertahankn paling tidak sampai maturitas janin optimal setelah usia
kehamilan lewat 35 minggu, karena pada usia tersebut organ tubuh dapat berfungsi
optimal di luar rahim. Kendala perawatan
bayi kurang bulan di negara berkembang adalah adanya komplikasi membran hialin.
a. Bila
ada gawat janin, lakukan resusitasi intrauterin yaitu tindakan untuk
mempertahankan kehamilan dengan pemberian tokolitik dan mencegah infeksi dengan
pemberian antibiotik yang aman untuk bayi.
b. Apabila
kehamilan kurang dari 35 minggu dan tidak dapat dipertahankan, ibu diberi
kortikosteroid dosis tunggal untuk mempercepat pematangan paru janin.
c. Beberapa
jam sebelum persalinan dimulai, kolaborasi dengan spesialis anak untuk
memberikan informasi bahwa akan lahir anak dengan BBLR pada ibu yang beresiko, seperti
ketuban pecah dini, hipertensi dalam kehamilan, pre-eklamsia berat,
dekompensasi kordis, TBC, infksi TORCH, dan lain-lain.
2. Penatalaksanaan di kamar bersalin
Hal yang harus dilakukan sebelum
bayi lahir adalah:
a. Pra-resusitasi
1)
Menyiapkan alat resusitasi dan fasilitas
perawatan bayi serta memeriksa kelengkapan dan fungsi alat.
a)
Meja resusitasi, lampu penghangat dan
penerang
b)
Penghisap lendir disposabel dan pompa
penghisap bayi
c)
Ambulans inkubator
d) Oksigen
dengan flowmeter
e)
Status dan tanda identitas bayi-ibu
2)
Memberi informasi keperawat intensif
tentang akan ada bayi dengan BBLR untuk persiapan perawatan bayi. Dokter anak akan memeriksa kembali semua
persiapan, tim resusitasi juga dipersiapkan.
b. Resusitasi
Resusitasi pada bayi prematur
memerlukan intervensi yang lebih cepat dan produktif serta difokuskan pada
stabilisasi suhu dan oksigen. Resusitasi
dilakukan tahap sesuai dengan kondisi bayi dengan menentukan nilai Apgar pada
menit 1 dan 5 untuk menentukan diagnosis (ada/ tidaknya asfiksia) dan prognosis
bayi.
c. Pasca-resusitasi
Pasca-resusitasi melakukan
pemeriksaan fisik diagnostik secara sistematis dan lengkap menentukan masa
gestasi dan pertumbuhan janin, menentukan diagnosis kerja, melakukan perawatan
tali pusat, memberi tetes mata dan vitamin K, memberi identitas pada bayi dan
ibu yang sama. Indikasi perawatan BBLR
pada bayi BBLR pada bayi premtur, cukup bulan dalam 3 perawatan, yaitu :
1) Perawatan
I rawat gabung (rooming in) yaitu
BBLR sampai 2250 gram, sehat tanpa komplikasi.
2) Perawatan
II/ perawatan khusus/ intermedelate care/
high care yaitu bayi memerlukan perawatan khusus untuk observasi dan
penanganan klinik.
3)
Perawatan III/ perawat intensif
neonatus/ neonatal in intensive care
unit.
3. Penatalaksanaan
di kamar bayi
Secara umum perawatan BBLR adalah :
a. Mempertahankan
suhu tubuh
Menurut Jitowiyono dan Weni (2011:
80-81) ada beberapa cara mempertahankan suhu tubuh bayi, yaitu dengan cara :
1)
Menggedong bayi dengan menggunakan
selimut bayi yang dihangatkan terlebih dahulu
2)
Menidurkan bayi di dalam inkubator
3)
Bayi harus dalam keadan kering
4)
Suhu lingkungan harus dijaga, seperti: jendela
dan pintu dalam keadaan tertutup untuk mengurangi hilangnya panas dari tubuh
bayi melalui proses radiasi dan konfeksi.
b. Mempertahankan
oksigenasi
Menurut Maryunani dan Eka (2013:320)
cara mempertahankan oksigenasi atau pernapasan dengan memposisikan bayi
terlentang atau tengkurap dalam inkubator, dada dan abdomen harus dipaparkan
untuk mengobservasi pernapasan dan beri tambahan oksigen untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dalam tubuh.
c. Memenuhi
kebutuhan nutrisi
Menurut Maryunani dan Eka (2013:
319-320) cara memenuhi nutrisi pada bayi dengan BBLR adalah dengan memberikan
minuman sedikit demi sedikit dengan frekuensi yang sering. Karena alat
pencernaan bayi belum sempurna, lambung kecil dan enzim belum matang.
d. Mencegah
dan mengatasi infeksi
Menurut Maryunani dan Eka (2013:
320) bayi prematuritas mudah sekali mengalami infeksi karena daya tahan tubuh
masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang dan pembentukan antibodi belum
sempurna. Oleh karena itu tindakan
preventif sudah dilakukan sejak antenatal sehingga tidak terjadi persalinan
dengan prematuritas (BBLR).
e. Memenuhi
kebutuhan psikologis
f. Program
imunisasi
D.
Konsep
Tumbuh Kembang dan
Hospitalisasi
Menurut Supartini
(2004: 59-65) terdapat berbagai pandangan tentang teori pertumbuhan dan
perkembangan anak, yaitu:
1. Teori
perkembangan Psikoseksual menurut Freud
Freud mengemukakan
bahwa perkembangan psikoseksual anak terdiri atas beberapa fase diantaranya:
a. Fase
oral (0-11 bulan)
Selama masa bayi sumber
kesenangan anak terbesar berpusat pada aktivitas oral seperti menghisap,
menggigit, mengunyah dan mengucap. Hambatan atau ketidakpuasan dalam pemenuhan
oral akan mempengaruhi fase perkembangan berikutnya.
b. Fase
anal (1-3 tahun)
Selama fase kedua,
yaitu menginjak tahun pertama sampai tahun ketiga, kehidupan anak berpusat pada
kesenangan anak yaitu selama perkembangan otot spingter. Anak senang menahan feses, bahkan
bermain-main dengan fesesnya sesuai keinginannya.
c. Fase
felik (3-6 tahun)
Selama fase ini,
genetalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis
kelamin perempuan dan laki-laki dengan mengetahui adanya perbedaan alat kelamin.
d. Fase
laten (6-12 tahun)
Selama periode laten, anak
menggunakan energi fisik dan psikologis yang merupakan media untuk mengeksplorasi
pengetahuan dan pengalamannya melalui aktivitas visik maupun sosialnya.
e. Fase
genital (12-18 tahun)
Tahap akhir masa
perkembangan menurut Freud adalah tahap genital ketika anak mulai masuk fase
pubertas, yaitu dengan adanya proses kematangan organ reproduksi dan produksi
hormon seks.
2. Teori
psikososial menurut Erikson
Pendekatan Erikson
dalam membahas proses perkembangan anak adalah dengan menguraikan lima tahap
perkembangan psikososial yaitu:
a. Percaya
versus tidak percaya (0-1 tahun)
Penanaman rasa percaya adalah hal yang sangat mendasar
pada fase ini. Terbentuknya rasa percaya
diperoleh dari hubungan dengan orang lain dan orang pertama yang berhubungan adalah
orang tuanya, terutama ibunya. Belaian
cinta kasih ibu dalam memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhan dasar anak
yang konsisten terutama pemberian makan disaat anak lapar dan haus. Bayi belajar bahwa orang tuanya dapat
memberikan perhatian dan cinta kasih melalui perlakuannya sehingga dapat
menurunkan perasaan tidak nyaman.
b. Otonomi
versus malu dan ragu (1-3 tahun)
Perkembangan otonomi
berpusat pada kemampuan anak untuk mengontrol tubuh dan lingkungannya. Anak ingin melakukan hal-hal yang ingin
dilakukannya sendiri dengan menggunakan kemampuan yang sudah mereka miliki
seperti, berjalan, berjinjit memanjat dan memilih mainan atau barang yang
diinginkannya. Pada fase ini, anak akan meniru perilaku orang lain disekitarnya
dan hal ini merupakan proses belajar. Sebaliknya,
perasaan malu dan ragu akan timbul apabila anak merasa dirinya kerdil atau saat
mereka dipaksa oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya untuk memilih atau
berbuat sesuatu yang dikehendaki mereka.
c. Inisiatif
versus rasa bersalah (3-6 tahun)
Perkembangan inisiatif
diperoleh dengan cara mengkaji lingkungan melalui kemampuan indranya. Anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap apa
yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah untuk menghasilkan
sesuatu sebagai prestasinya. Perasaan bersalah akan timbul pada anak apabila
anak tidak mampu berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang
tidak tercapai.
d. Industri
versus inferiority (6-12 tahun)
Anak akan belajar untuk
bekerja sama dan bersaing dengan anak lainnya melalui kegiatan yang dilakukian
baik dalam kegiatan akademik maupun dalam pergaulan melalui permainan yang
dilakukan bersama. Otonomi melalui perkembangan pada fase ini,
terutama awal usia 6 tahun, dengan dukungan orang terdekat. Terjadinya
perubahan fisik, emosi dan sosial pada anak berpengaruh terhadap gambaran tubuhnya. Interaksi sosial lebih luas dengan teman,
umpan balik berupa kritik dan evaluasi dari teman atau lingkungannya,
mencerminkan penerimaan dari kelompok akan membentu anak semakin mempunyai
konsep diri yang positif. Perasaan
sukses dicapai anak dengan dilandasi adanya motifasi internal untuk
beraktivitas yang mempunyai tujuan. Kemampuan anak untuk berinteraksi sosial
lebih luas dengan teman dilingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan
perasaan sukses tersebut. Perasaan tidak
adekuat dan rasa inferior atau rendah diri akan berkembang apabila anak terlalu
mendapat tuntutan dari lingkungannya dan anak tidak berhasil memenuhinya.
Selain itu, harga diri yang kurang akan menjadi dasar yang kurang untuk
penguasaan tugas-tugas difase remaja dan dewasa. Pujian dan penguatan dari orang tua atau
orang dewasa lainnya terhadap prestasi yang dicapai menjadi begitu penting
untuk penguatan perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu.
e. Identitas
versus keracunan peran (12-18 tahun)
Anak remaja akan
berusaha untuk menyesuaikan perannya sebagai anak yang sedang berada pada fase
transisi dari kanak-kanak menuju dewasa.
Mereka menunjukan perannya dengan bergaya sebagai remaja yang sangat
dekat dengan kelompok, bergaul dengan mengadopsi nilai kelompok dan
lingkungannya, untuk dapat mengambil keputusannya sendiri. Kejelasan identitas diperoleh apabila ada
kepuasa yan diperoleh dari orang tua atau lingkungan tempat ia berada, yang
membantunya melalui proses pencarian identitas diri sebagai anak remaja, sedangkan
ketidakmampuan dalam mengatasi konflik akan menimbulkan kerancuan peran yang
harus dijalankannya.
3. Teori
perkembangan kognitif menurut Piaget
a. Tahap
sensori-motorik (0-2 tahun)
Menghisap (sucking) adalah ciri utama pada perlaku
bayi dan berkembang sekalipun tidak sedang menyusu, bibirnya
bergerak-gerak seperti sedang menyusu.
Apabila lapar, bayi menangis, lalu ibu memasukannya dan anak diam. Kemudian, jika ibu menyusukan sambil
bernyanyi atau bersenandung, anak kemudian terdiam. Di lain waktu jika anak menangis dan ibu bersenandung,
bayi juga terdiam. Jadi, bayi belajar dan mengembangkan kemampuan
sensori-motorik dengan dikondisikan oleh lingkungannya. Pada tahap ini anak mengembangkan
aktivitasnya dengan menunjukan perilaku sederhana yang dilakukan berulang-ulang
untuk meniru perilaku tertentu dari linkungannya. Jadi perkembangan intelektual
dipelajari melalui sensasi dan pergerakan.
b. Praoperasional
(2-7 tahun)
Karakteristik utama
perkembangan intelektual pada tahap praoperasional oleh sifat egosentris.
Ketidakmampuan untuk menempatkan diri sendiri ditempat orang lain. Pemikiran
didominasi oleh apa yang mereka lihat dan rasakan dengan pengalaman lainnya.
Pada anak usia 2 sampai 3 tahun, anak berada diantara sensori-motori dan
praoperasional, yaitu mulai mengembangkan sebab-akibat, trial and error dan mengintrepretasikan benda atau kejadian. anak
prasekolah (3-6 tahun) mempunyai tugas untuk menyiapkan diri memasuki dunia
sekolah.
c. Concrete operasional
(7-11 tahun)
Pada usia ini,
pemikiran meningkat atau bertambah logis
dan koheren. Anak mampu mengklasifikasikan benda dan perintah dan
menyelesaikan masalah secara konkret dan sistematis berdasarkan apa yang mereka
terima dari lingkungannya. Kemampuan berfikir anak sudah rasional, imajinatif
dan dapat menggali objek atau situasi lebih banyak untuk memecahkan masalah.
Anak sudah dapat berfikir konsep tentang waktu dan mengingat kejadian yang lalu
serta menyadari kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, tetapi pemahamannya
belum mendalam, selanjutnya akan semakin berkembang di akhir usia sekolah atau
awal masa remaja.
d. Formal
oparation (11-15 tahun)
Tahapan ini ditujukkan
dengan karakteristik kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan kemampuan
untuk fleksibel terhadap lingkungannya.
Anak remaja dapat berfikir dengan pola yang abstrak menggunakan tanda atau
simbol dan menggambarkan kesimpulan yang logis. Mereka dapat membuat dugaan dan
mengujinya dengan pemikiran yang abstrak, teoritis dan filosofi. Pola berfikir
logis membuat mereka mampu berfikir tentang apa yang orang lain juga
memikirkannya dan berfikir untuk memecahkan masalah.
4. Perkembangan
moral menurut Kohlberg
Perkembangan moral anak
yang dikemukakan Kohlberg didasarkan pada perkembangan kognitif anak dan
terdiri atas tiga tahap utama, yaitu:
a. Fase
preconventional
Anak belajar baik dan
buruk, atau benar dan salah melalui budaya sebagai dasar dalam peletakan nilai
moral. Fase ini terdiri atas tiga tahapan. Tahap satu didasari oleh adanya rasa
egosentris pada anak, yaitu kebaikan adalah seperti apa yang saya mau, rasa
cinta dan kasih sayang akan menolong memahami tentang kebaikan dan sebaliknya,
ekspresi kurang perhatian bahkan membencinya akan membuat mereka mengenal
keburukan. Tahap dua, yaitu orientasi hukuman dan ketaatan, baik dan buruk
sebagai konsekuensi dan tindakan. Oleh karena itu, hati-hati apabila anak
memukul temannya dan orang tidak memberi sanksi, anak akan berfikir bahwa
tindakannya bukan merupakan sesuatu yang buruk. Tahap selanjutnya, yaitu anak
berfokus pada motif yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan. Anak menjalankan
aturan sebagai sesuatu yang memuaskan mereka sendiri.
b. Fase
conventional
Pada tahap conventional, anak berorientasi pada
mutualitas hubungan interpersonal dengan kelompok. Anak sudah mampu bekerja
sama dengan kelompok dan mempelajari serta mengadopsi norma-norma yang ada
dalam kelompok selain norma dalam lingkungan keluarganya. Apabila perilaku anak
menyebabkan mereka diterima oleh keluarga atau teman kelompoknya, mereka mempersepsikan
perilakunya sebagai kebaikan. Sebaliknya, jika tindakannya mengganggu
hubungannya dengan keluarga atau kelompoknya, hal ini di persepsikan sebagai
suatu keburukan. Keadilan adalah hubungan yang saling menguntungkan antara
individu. Anak mempertahankannya dengan norma tersebut dalam mengambil
keputusaannya. Oleh karena itu, penting sekali adanya contoh karakter yang baik, seperti jujur, setia, murah hati,
baik dari keluarga maupun teman kelompoknya.
c. Fase
post conventional
Anak usia remaja telah
mampu membuat pilihan berdasar pada prinsip yang dimiliki dan diyakininya.
Apapun tindakan yang diyakininya dipersepsikan sebagai suatu kebaikan. Ada dua
fase, yaitu orientasi pada hukum dan orientasi pada prinip etik yang umum. Pada
fase pertama anak menempatkan nilai budaya, hukum, dan perilaku yang tepat yang
menguntungkan bagi masyarakat sebagai sesuatu yang baik. Mereka mempersepsikan
kebaikan sebagai sesuatu yang dapat mensejahterakan individu. Tidak ada yang
dapat mereka terima dari lingkungan tanpa membayarnya dan apabila menjadi
bagian dari kelompok mereka berkontribusi untuk pencapaian kelompok. Fase kedua dikatakan sebagai tingkat nilai moral
tertinggi, yaitu anak dapat menilai perilaku baik dan buruk dari dirinya
sendiri. Apabila mereka dapat melakukan sesuatu yang benar, hal ini
dipersepsikannya sebagai kebaikan mereka. Anak sudah dapat mempertahankan
perilaku berdasarkan standar moral yang ada seperti mentaati peraturan dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Menurut Supartini (2004 : 188-191) Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak tinggal di rumah sakit, menjalani
terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Pada umumnya reaksi
anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri.
Berikut ini reaksi anak terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan
tahapan perkembangan anak.
a.
Masa
bayi (0-1tahun)
Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan orang tua sehingga ada gangguan
pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari 6
bulan terjadi cemas apabila
berhubungan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan.
Reaksi yang sering muncul pada usia ini adalah menangis , marah dan banyak
melakukan gerakan sebagai sikap cemas.
b.
Masa
toddler (2-3tahun)
Anak usia ini bereaksi terhadap hospitalisasi dengan sumber stressnya.
Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak
sesuai dengan tahapannya
yaitu tahap protes , putus asa dan pengingkaran. Pada tahap protes, perilaku
yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orangtua atau menolak
perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa perilaku yang
ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif , kurang menunjukkan
minat bermain dan makan, sedih dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku
yang ditunjukkan adalah secara samar melalui menerima perpisahan , membina
hubungan secara dangkal dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya.
c.
Masa
prasekolah (3-6tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari
lingkungan yang di rasakan aman, penuh kasih sayang dan menyenangkan, yaitu
lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap
perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah dengan menolak makan, sering
bertanya, menangis walaupun secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan.
d. Masa
sekolah (6-12 tahun)
Perawatan anak di rumah
sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu
keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan
kontrol juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan
aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dalam
keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan
bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik.
e. Masa
remaja (12-18 tahun)
Anak usia remaja mengekspresikan
perawatan di rumah sakit menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus
berpisah dengan teman sebayanya. Apabila harus dirawat dirawat di rumah sakit, anak akan merasa kehilangan dan timbul
perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit
membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri dan menjadi
ketergantungan pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi
pembatasan yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitas ini adalah dengan
menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau
kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama
pasien dan petugas kesehatan.
E. Konsep Keperawatan
1. Fokus
pengkajian
Menurut Pantiawati (2010: 28-31)
fokus pengkajian dilakukan pada bayi baru lahir dengan BBLR, diantaranya:
a. Masalah
yang terkait dengan ibu
Biasanya didapatkan ibu dengan bayi
BBLR memiliki penyakit atau gangguan selama hamil seperti hipertensi, toksemia,
plasenta previa, abrupsio plasenta, inkompeten servikal, kehamilan kembar,
malnutrisi dan diabetes militus. Status ekonomi yang rendah dan tidak ada
perawatan sebelum kelahiran (prenatal
care). Riwayat kelahiran prematur atau aborsi, penggunaan obat-obatan,
alcohol, rokok dan kafein. Riwayat ibu: umur di bawah 16 tahun atau diatas 35 tahun
dan latar belakang pendidikan rendah kehamilan kembar, tiadanya perawatan sebelum
kelahiran dan rendahnya gizi, konsultasi genetik yang pernah di lakukan,
kelahiran prematur sebelumnya dan jarak kehamilan yang berdekatan, infeksi
seperti TORCH atau penyakit hubungan seksual lain, keadaan seperti toksemia,
abrupsi plasenta, plasenta previa dan prolapsus tali pusat, konsumsi kafein,
rokok, alkohol dan obat-obatan, golongan darah, faktor Rh.
b. Bayi
saat kelahiran.
Biasanya bayi BBLR dilahirkan pada
umur kehamilan antara 24-37 minggu.
c. Kardiovaskuler
Bayi dengan BBLR biasanya denyut jantung
rata-rata 120-160 per menit dengan ritme yang teratur pada saat kelahiran,
kebisingan jantung terdengar pada seperempat bagian interkosta, yang menunjukan
aliran darah dari kanan ke kiri karena hipertensi atau atelektasis paru.
d. Gastrointestinal
Pada sistem gastrointestinal bayi
dengan BBLR biasanya didapatkan penonjolan abdomen, pengeluaran mekonium
biasanya terjadi 12 jam, reflek menelan dan menghisap yang lemah atau tidak ada
anus ketidaknormalan kongenital lain.
e. Integumen
Pada sistem integumen bayi dengan
BBLR biasanya didapatkan kulit yang berwarna merah muda atau merah,
kekuning-kuningan, sianosis, atau campuran bermacam warna, sedikit vernik
kaseosa dengan rambut lanugo diseluruh tubuh, kulit tampak transparan, halus
dan mengkilap, edema yang menyeluruh atau bagian tertentu yang terjadi pada
saat kelahiran.
f. Moskuloskeletal
Biasanya didapatkan sistem
moskuloskeletal pada bayi dengan BBLR, tulang kartilago telinga belum tumbuh
dengan sempurna lembut dan lunak tulang tengkorak dan tulang rusuk lunak, gerakan
lemah dan tidak aktif.
g. Neurolgis
Biasanya didapatkan pada bayi
dengan BBLR reflek dan gerakan tes neurologis tampak tidak resisten, gerak
refleks hanya berkembang sebagian, menelan, menghisap dan batuk sangat lemah atau
tidak efektif tidak ada atau menurunnya tanda neurologis, mata mungkin tertutup
atau mengatup apabila umur kehamilan belum mencapai 25 minggu sampai 26 minggu,
suhu tidak stabil, biasanya hipotermi, gemetar, kejangdan
mata berputar, biasanya bersifat sementara, tetapi mungkin juga ini
mengidentifikasi adanya kelainan neurologis.
h. Paru
Didapatkan pada bayi BBLR biasanya
jumlah rata-rata antara 40-60 permenit diselingi dengan periode apne,
pernafasan tidak teratur, dengan nasal melebar, dengkuran, retraksi,
terdengarsuara gemerisik.
i.
Ginjal
Biasanya bayi BBLR berkemih terjadi
8 jam kelahiran, ketidakmampuan untuk melarutkan ekrskresi kedalam urin.
j.
Reproduksi
Pada sistem reproduksi biasanya
didapatkan pada bayi dengan BBLR untuk bayi perempuan klitoris yang menonjol
dengan labia mayor belum berkembang, bagi bayi laki-laki skrotum yang belum
sempurna dengan ruga yang kecil, testis tidak turun ke dalam skrotum.
k. Temuan
sikap
Biasanya bayi BBLR memiliki tangis
yang lemah, tidak aktif dan tremor.
2. Diagnosa
keperawatan
Berdasarkan buku NANDA yang ditulis
oleh Herdman (2012) diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada kasus BBLR,
antara lain:
a. Ketidakefektifan
pola napas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan
b. Ketidakefektifan
pola makan bayi berhubungan dengan pola menghisap lemah
c. Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
mencerna makanan
d. Ketidakefektifan
termoregulasi berhubungan dengan imaturitas hipotalamus
e. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan jaringan lemak pada subkutan tidak
terbentuk secara sempurna
f. Resiko
infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder.
3. Fokus
intervensi
Menurut Green dan Judith (2012) dan
Wilkinson (2007) intervensi berdasarkan diagnosa yang sudah ada, antara lain :
a. Diagnosa : Ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan
keletihan
otot pernapasan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
diharapkan pasien dapat menunjukan oksigenasi
yang adekuat.
Kriteria hasil :
1) Pernafasan
dalam batas normal (30-60x/mnt)
2) Tidak
ada bunyi napas tambahan
3) Tidak
ada penggunaan otot bantu pernapasan
4) Napas
irreguler
Intervensi :
1) Observasi
pola pernapasan
Rasional
: Bayi kurang bulan lahir dengan banyak alveolus yang yang belum matur dan
tidak dapat mengembang, yang membatasi aliran darah pulmonal dan mengurangi
produksi surfaktan lebih lanjut.
2) Auskultasi
bunyi napas
Rasional
: Perhatikan krekel, mengi, area yang mengalami penurunan/ kehilangan
ventilasi. Kesulitan pernapasan dan munculnya dan munculnya bunyi advevetinus
merupakan indikatoor dari kongesti pulmo/ edema interstitial.
3) Posisikan
bayi terlentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap ke atap.
Rasional : Mencegah adanya
penyempitan jalan napas.
4) Pertahankan
suhu lingkungan yang netral.
Rasional
: Rasionalnya untuk mengurangi konsumsi oksigen, jika bayi mengalami
hipotermia, laju metabolisme meningkatkan konsumsi oksigen dan dapat menghambat
produksi surfaktan lebih lanjut atau mempercepat penggunaan surfaktan
endogenus.
5) Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi oksigenasi.
Rasional : Memenuhi kebutuhan
oksigen dalam tubuh.
6) Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian terapi medikamentosa.
Rasional : Menghindari distres
pernapasan.
b. Diagnosa
: Ketidakefektifan pola makan bayi
berhubungan
dengan pola menghisap lemah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
bayi menunjukan kepatenan dalam menyusu.
Kriteria hasil :
1) Bayi
dapat menghisap, menelan dengan adekuat
2) Tidak
terjadi penurunan berat badan
Intervensi :
1) Observasi
kesiapan bayi dalam menghisap, menelan dan bernapas.
Rasional
: Penurunan koordinasi mempengaruhi asupan, isap telan yang adekuat
mengindikasikan kesiapan dan keefektifan pemberian oral.
2) Pilih
dot yang paling sesuai
Rasional : Rasionalny untuk
memudahkan bayi menghisap.
3) Rangsang
pipi bayi apabila bayi tidak adekuat dalam menghisap.
Rasional
: Rasionalnya agar bayi adekuat dalam menghisap dan menelan
4) Anjurkan
ibu untuk memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara langsung kepada bayi
Rasional
: Proses interaktif dapat membantu penyusuan yang baik dan adekuat.
5)
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemasangan OGT (Oral Gaster Tube)
Rasional : Rasionalnya untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi.
c. Diagnosa
: Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk
mencerna
makanan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
diharapkan kebutuhan
nutrisi tercukupi.
Kriteria hasil :
1) Adanya
peningkatan berat badan 20-30 gram/hari
2) Turgor
kulit baik
3) Keadaan
umum baik
Intervensi :
1) Observasi
keadaan umum bayi
Rasional : Memantau perkembangan
bayi
2) Monitor
intake dan output bayi
Rasional : Mengontrol keseimbangan
cairan bayi
3) Observasi
turgor kulit
Rasional : Turgor kulit adalah
indikasi status cairan
4) Kaji
koordinasi isap telan
Rasional
: Penurunan koordinasi mempengaruhi asupan, isapan telan yang adekuat
mengindikasikan kesiapan dan keefektifan pemberian makanan oral.
5) Timbang
berat badan setiap hari pada waktu yang sama sebelum pemberian makanan.
Rasional
: Rasionalnyauntuk menentukan jumlah asupan yang tepat atau kebutuhan untuk
meningkatkan asupan. Berat badan adalah indikator status nutrisi dan
pertumbuhan yang adekuat.
6) Anjurkan
ibu untuk menyiapkan ASI (Air Susu Ibu)
Rasional
: ASI (Air Susu Ibu) mudah dicerna dan ASI (Air Susu Ibu) mengandung
imunoglobin yang tidak dapat diproduksi oleh bayi kurang bulan.
7) Berikan
makanan dalam jumlah sedikit tapi sering (tiap 2-3 jam sekali)
Rasional : Memberi nutrisi yang
adekuat pada bayi
8) Kolaborasi
dengan dokter dalam pemasangan OGT(Oral
Gaster Tube)
Rasional : untuk mencukupi nutrisi
bayi
d. Diagnosa
: Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan
dengan imaturitas
hipotalamus
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
diharapkan pasien
dapat mempertahankan suhu
tubuh.
Kriteria hasil :
1) Suhu
tubuh dalam batas normal (36,50C-37,50C)
2) Bayi
terlihat tidak menggigil
3) Akral
hangat
Intervensi :
1) Pantau
suhu tubuh bayi
Rasional : Mengetahui keadaan suhu
tubuh bayi
2) Observasi
keadaan kulit bayi (perfusi buruk, sianosis, akral dingin)
Rasional : Mengetahui tanda-tanda
hipotermi
3) Tempatkan
bayi dalam inkubator
Rasional : mempertahankan suhu
tubuh agar stabil
4) Hindari
situasi yang dapat membuat bayi kehilangan panas (terpapar udara dingin,
jendela terbuka, mandi, dan lain-lain).
Rasional : Mempertahankan suhu
tubuh bayi agar stabil
e. Diagnosa
: Resiko infeksi berhubungan
dengan
ketidakadekuatan pertahanan sekunder
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
diharapkan tanda-tanda
infeksi tidak ada.
Kriteria hasil :
1) Tidak
ada tanda-tanda infeksi
2) Hasil
laboratorim leukosit normal
3) Suhu
tubuh dalam batas normal (36,5oC-37,5oC)
Intervensi
1)
Pantau suhu tubuh
Rasional
: Suhu tubuh yang tinggi merupakan salah satu tanda adanya infeksi.
2)
Tingkatkan nutrisi yang baik
Rasional
: Nutrisi yang buruk dapat menjadi faktor predisposisi terkena infeksi
3)
Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan bayi.
Rasional : Mencegah penularan
infeksi
4)
Pertahankan kebersihan linen dan
peralatan yang digunakan
Rasional : Mencegah terjadinya
infeksi.
5)
Pertahankan kebersihan linen dan
peralatan yang digunakan
Rasional : Meminimalkan terjadinya
infeksi
f. Diagnosa
: Kerusakan integritas kulit
berubungan dengan
jaringan lemak pada
subkutan tidak terbentuk secara sempurna
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
diharapkan kulit tetap
utuh
Kriteria Hasil :
1) Turgor
kulit baik
2) Tidak
ada lesi, dekubitus
Intervensi :
1) Pantau
kondisi kulit (kemerahan, ruam, transparan, memar, bengkak, terkelupas)
Rasional : Mengidentifikasi
kerusakan kulit
2) Mandikan
bayi dengan air hangat
Rasional
: Mekanisme pertahanan melawan bakteri, mengurangi iritasi pada kulit
3) Berikan
lotion, serta emolien dengan hati-hati.
Rasional : Menjaga kulit tetap
lembab.
4) Ubah
posisi bayi dengan sering (tiap 2 jam)
Rasional
: Rasionalnya untuk mencegah kerusakan area penekanan pada kulit yang tipis.
DAFTAR PUSTAKA
Deslidel
et al. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi, dan
Balita. Jakarta: EGC
Green
dan Judith. 2012. Rencana Asuhan
Keperawatan Maternal & Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC
Hassan
dan Husein. 2005. Buku Kuliah 3 Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jitowiyono
dan Weni. 2011. Asuhan Keperawatan
Neonatus dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medik
Maryunani
dan Eka. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Jakarta: TIM
Pantiawati,
I. 2010. Bayi Dengan BBLR (Berat Badan
Lahir Rendah). Yogyakarta:Nuha Mediaka
Sudarti
dan Afroh. 2013. Asuhan Neonatus Resiko
Tinggi dan Kegawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Supartini,
Y. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar
Keperawatan Anak. Jakarta: EGC
Surasmi
et al. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi.
Jakarta: EGC
Wilkinson,
J. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan
dengan Intervensi NIC Dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC
ZR,Arief
dan Weni. 2009. Neonatus & Asuhan
Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
No comments:
Post a Comment