A.
Pengertian
Partus atau kelahiran bayi, memerlukan proses dalam perubahan fungsi uterus dan
serviks. Setelah
kelahiran seorang bayi, maka seorang ibu akan mengalami sebuah masa yang
disebut dengan masa nifas. Masa nifas adalah suatu periode
dalam minggu-minggu pertama setelah kelahiran. Lamanya “periode” ini tidak
pasti, sebagian besar menganggapnya antara
4 sampai 6 minggu (Cunningham , 2013).
Pre-eklampsia atau
toksemia pre-eklampsia
merupakan penyebab utama
gangguan pada ibu dan janin. Pre-eklampsia didefinisikan sebagai penyakit pada ibu hamil yang ditandai
dengan hipertensi dan proteinuria yang baru muncul di trimester kedua kehamilan
yang pulih di periode postnatal
(Robson&Waugh,
2012).
Pre-eklampsia merupakan suatu kondisi
pada kehamilan di mana peningkatan tekanan darah terjadi setelah minggu ke-20
pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Pre-eklampsia
merupakan suatu penyakit, yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokonsentrasi, hipertensi, dan proteinuria (Bobak, 2005).
Secara tradisional pre-eklampsia
didasarkan pada adanya peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada
pemeriksaan urine, dengan atau tanpa adanya edema pada ekstremitas bawah. Masih
banyak ibu hamil yang menganggap itu sebagai permasalahan yang biasa.
Pre-eklampsia adalah penyakit pada kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Proteinuria
adalah tanda penting pre-eklampsia.
Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya lebih protein secara menetap pada
sampel urin ibu yang
mengalami kehamilan (Cunningham, 2006).
Pre-eklampsia berat
adalah suatu komplikasi
kehamilan yang ditandai dengan timbulnya peningkatan tekanan darah 160/110 mmHg
atau lebih yang disertai proteinuria dengan atau tanpa edema pada kehamilan 20
minggu atau lebih (Nugroho, 2012).
B. Etiologi
B. Etiologi
Menurut Dutton (2012), penyebab pasti
dari pre-eklampsia belum sepenuhnya dapat dipahami. Akan tetapi menurut teori
saat ini yang dipelajari pre-eklampsia dapat disebabkan karena iskemia uterus/underperfusion, aktivasi/disfungsi
endothelium, defisiensi kalsium, aktivasi imunologis, nutrisi buruk,
kecenderungan genetik. Permasalahan tersebut diyakini dapat memicu terjadinya
pre-eklampsia pada ibu hamil.
C. Manifestasi
Klinis
Manifestasi klinis menurut Robson&Waugh
(2012) antara lain :
1.
Sakit
kepala hebat.
2.
Gangguan
penglihatan.
3.
Nyeri
epigastrik.
4.
Muntah.
5.
Nyeri
tekan di hati.
6.
Klonus/hiperrefleksia.
7.
Trombosit
rendah.
8.
Papiloedema.
9.
Fungsi
hati abnormal (ALT : alanine transaminase atau AST : aspartate transaminase >70
iu/l).
Menurut Dutton (2012), manifestasi
klinis pada pre-eklampsia dapat ditandai
dengan:
1.
Hipertensi
(sistolik >140 dan diastolik >90) dengan proteinuria (terikat >0,3
g/dL).
2.
Sakit
kepala yang tidak membaik setelah pemberian analgesik.
3.
Nyeri
di kuadran kanan atas.
4.
Perubahan
penglihatan.
D. Patofisiologi
Pada pre-eklampsia akan terjadi spasme
pembuluh darah disertai retensi garam dan air. Pada pemeriksaan biopsi ginjal
ditemukan spasme yang hebat pada ateriola glomerulus dalam beberapa kasus lumen
ateriola menjadi sempit sehingga hanya dapat dilalui satu sel darah merah.
Jadi, jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah
dengan sendirinya akan meningkat, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan
tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Sedangkan kenaikan
berat badan dan edema dapat disebabkan karena penimbunan air yang berlebihan
dalam ruangan interstitial, ada juga yang mengatakan karena retensi air dan
garam. Sedangkan proteinuria dapat terjadi karena spasme arteriola, sehingga
terjadi perubahan pada glomerulus (Mitayani, 2011).
Adaptasi
fisiologis normal pada ibu hamil meliputi peningkatan volume plasma darah,
vasodilatasi, penurunan resistensi vaskuler sistemik (SVR : system vascular
resistance), peningkatan curah jantung, dan penurunan tekanan osmotik koloid.
Pada ibu hamil yang mengalami pre-eklampsia, akan terjadi penurunn volume
plasma yang beredar, sehingga akan terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan
hematokrit maternal. Perubahan ini membuat perfusi organ maternal menurun,
termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta. Terjadinya vasospasme siklik
lebih lanjut akan menurunkan perfusi jaringan organ dengan menghancurkan
sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun (Bobak, 2005).
. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi pada pre-eklampsia
termasuk kejadian abrupsio plasenta, keterbatasan pertumbuhan intrauteri,
sindrom HELLP (Haemolisis, Elevated Liver enzymes, Low Platelet count),
kelainan pembekuan darah (DIC), gagal ginjal, kelahiran premature, kegagalan
multi organ, eklampsia (kejang grand mal yang terjadi pada pre-eklampsia) dan
juga dapat menyebabkan kematian (Robson & Waugh, 2012).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada
pre-eklampsia menurut Cunningham (2006) :
1.
Pemeriksaan terinci diikuti oleh pemantauan
setiap hari untuk mencari gejala-gejala klinis seperti nyeri kepala, gangguan
penglihatan, nyeri epigastrium, dan pertambahan berat badan yang pesat.
2.
Berat
badan saat masuk dan kemudian pemantauan setiap hari.
3.
Analisis proteinuria saat masuk dan kemudian
diperiksa setiap 2 hari.
4.
Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk
dengan ukuran manset yang sesuai setiap 4 jam.
5.
Pengukuran kreatinin plasma atau serum,
hematokrit, trombosit, dan enzim hati dalam serum, dan frekuensi yang
ditentukan oleh keparahan hipertensi.
6.
Evaluasi yang sering terhadap ukuran janin,
denyut jantung janin, dan volume cairan amnion, baik secara klinis maupun USG.
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mitayani (2011), pemeriksaan penunjang dibagi
menjadi :
1.
Pemeriksaan
darah lengkap yang meliputi pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, dan trombosit.
2.
Pemeriksaan
urinalisis.
3.
Pemeriksaan
fungsi hati yang meliputi pemeriksaan bilirubin, LDH (laktat dehidrogenase),
aspartat aminomtransferase (AST), serum
glutamat oxaloacetic trasaminase (SGOT), total protein serum.
4.
Tes
kimia darah yang meliputi pemeriksaan asam urat.
5.
Dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi dan kardiotografi.
I. Pengkajian
keperawatan
Fokus
pengkajian pada ibu post partum menurut Doengoes (2003) yaitu :
1.
Prenatal care :
Riwayat kehamilan dan persalinan
a.
Berapa lama
persalinan.
b.
Bagaimana proses persalinan
dan tipe
persalinan (forcep, vakum, sectio caesarea).
c.
Terapi penggunaan
anestesi atau analgesik selama intranatal.
2.
Tanda vital
a.
Tekanan darah sedikit rendah berarti normal.
b.
Nadi : 56 – 76 kali
per menit berarti
normal.
c.
Suhu : sedikit
meningkat (380C) berarti normal.
d.
Respirasi : sedikit
meningkat 22 – 24 kali per menit berarti normal.
e.
Tanda-tanda vital
ini dimonitor tiap 4 jam sekali, bila tanda-tanda vital dalam batas normal
dimonitor pada 24 jam pertama dan selanjutnya dimonitor tiap 8 jam.
3.
Perubahan payudara
a.
Perubahan bentuk payudara menjadi besar atau kecil dan simetris antara kanan dan kiri,
bengkak atau tidak, bagaimana aerola.
b.
Puting : bentuk
menonjol atau tidak, adanya luka atau lecet.
c.
Kebersihan.
d. Pengeluaran
kolostrum terutama pada hari ke-2 dan ke-3.
4.
Abdomen dan fundus
uteri
a.
Pengukuran tinggi fundus uteri.
b.
Palpasi kontraksi
abdomen.
c.
Observasi kondisi luka post partum.
d.
Auskultasi bising
usus dan kaji
intensitas adanya mulas.
5.
Perineum atau
rektum
a.
Adanya hemoroid,
nyeri atau tidak.
b.
Kebersihan perineum.
c.
Lokhea.
1)
Jumlah : fekuensi
penggantian pembalut
2)
Sifat pengeluaran
a) Menetes
b) Merembes
c) Memancar
3)
Warna lokhea
a)
Segar
b) Tua
4) Bau lokhea : amis atau
busuk
6.
Ekstremitas
a.
Kekuatan
b.
Pembengkakan
dan nyeri
7.
Istirahat atau rasa
ketidaknyaman
a.
Lama
b.
Penyebab sukar
tidur : mulas,
nyeri.
8.
Kemampuan perawatan
diri atau bayi
9.
Tingkat kemampuan
kekuatan atau energi
10. Kebiasaan
11. Status psikologis atau emosional
a.
Respon terhadap
kelahiran atau proses melahirkan
b.
Respon terhadap
bayinya
c.
Persepsi terhadap
keluarga
d.
Perubahan
psikologis
e.
Adaptasi keluarga
12. Pengetahuan
a.
Perawatan bayi
b.
Perawatan payudara
c.
Kontrasepsi atau
keluarga berencana (KB)
J. Adaptasi
Fisiologis dan Psikologis
Menurut Bobak (2005) & Saleha (2009) adaptasi fisiologi dibagi menjadi
beberapa sistem diantaranya yaitu :
1.
Sistem reproduksi
a.
Uterus
Dalam
kelahiran bayi terjadi peningkatan kontraksi uterus karena terlepasnya hormon oksitosin oleh kelenjar hipofisis posterior. Rasa nyeri dan mulas setelah melahirkan dirasakan karena uterus yang meregang, peningkatkan nyeri dapat terjadi karena adanya kontraksi uterus. Plasenta adalah tempat pertumbuhan
endometrium, regenerasi pada tempat ini biasanya belum selesai sampai enam minggu setelah
melahirkan .
Involusi
merupakan proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan,
akibatnya otot – otot polos uterus berkontraksi pada waktu 12 jam, tinggi
fundus uteri mencapai ± 1 cm diatas umbilicus. Dalam beberapa hari kemudian,
perubahan fundus uteri turun kira – kira 1 – 2 cm setiap 24 jam.
b.
Lokhea
Menurut Saleha (2009)
lokhea adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan vagina selama
masa nifas. Berikut adalah beberapa jenis lokhea yang terdapat pada wanita pada
masa nifas :
1)
Lokhea rubra (cruenta) berwarna merah karena berisi darah segar, sel-sel desidua, verniks caseosa, lanugo
dan mekonium selama 2 hari pascapersalinan. Inilah lokhea yang akan keluar selama 2-3 hari
postpartum.
2)
Lokhea sanguilenta berwarna merah kuning
berisi darah dan lendir yang keluar pada hari ke-3 sampai ke-7 pasca persalinan.
3)
Lokhea serosa dimulai dengan versi yang lebih
pucat dari lokhea rubra. Lokhea
ini berbentuk serum dan berwarna merah jambu kemudian menjadi kuning. Cairan
tidak berdarah lagi pada hari ke-7 sampai hari ke-14 pasca persalinan.
4)
Lokhea alba adalah lokhea yang terakhir. Lokhea alba
mengandung cairan
serum, jaringan desidua, leukosit dan eritrosit. Dimulai dari hari ke-14 sampai
1 atau 2 minggu berikutnya. Bentuknya seperti cairan putih berbentuk krim serta
terdiri atas leukosit dan sel-sel desidua.
2.
Serviks
Serviks akan berubah menjadi lunak segera setelah melahirkan, 18 jam
pasca partum, serviks memendek dan konsentrasinya menjadi lebih padat dan
kembali ke bentuk semula.
3. Vagina
dan perineum
Penurunan hormon estrogen pasca partum berperan dalam penipisan mukosa
vagina dan hilangnya rugae vagina yang semula sangat teregang akan kembali
secara bertahap ke ukuran sebelum hamil,
6–8 minggu setelah bayi lahir. Rugae akan kembali terlihat pada sekitar
minggu ke- 4, walaupun tidak akan semenonjol pada wanita nulipara.
4. Payudara
Setelah bayi lahir terjadi penurunan konsentrasi hormone yang
menstimulasi perkembangan payudara (estrogen, progesteron, human chorionic,
gonadotropin, prolaktin, dan insulin), oksitosin membantu mengalirkan sehingga
menyebabkan keluarnya ASI.
5. Abdomen
Setelah melahirkan dinding perut menjadi longgar karena diregang begitu
lama, sehingga otot-otot dinding abdomen meregang, suatu keadaan yang dinamai
diastasis rektus abdominalis. Apabila menetap efek ini dapat dirasa mengganggu
pada wanita, tetapi seiring perjalanan waktu, efek tersebut menjadi kurang
terlihat dan akan pulih kembali.
6.
Sistem endokrin
Terjadi penurunan hormon plasenta yaitu kadar estrogen dan progesteron secara
signifikan dan saat terendah adalah 1 minggu post partum. Terjadi penurunan hormon
hipofisis dan fungsi ovarium. Hipofisis dibagi menjadi dua, yaitu hipofisis
anterior dan posterior. Hipofisis anterior mengsekresi hormon prolaktin untuk
meningkatkan kelenjar mamae pembentukan air susu. Sedangkan hipofisis posterior
sangat penting untuk diuretik. Oksitosin mengkontraksi alveolus mamae sehingga
membantu mengalirkan ASI dari kelenjar mamae ke puting susu.
7.
Sistem urinarius
a.
Komponen urin
BUN
(Blood Urea Nitrogen), yang meningkat selama masa pascapartum, merupakan akibat
otolisis uterus yang berinvolusi selama 1 – 2 hari setelah wanita melahirkan.
b.
Diuresis pascapartum
Dalam
12 jam setelah melahirkan, mulai membuang kelebihan cairan yang tertimbun di
jaringan selama hamil. Salah satu mekanisme untuk mengurangi cairan yang
terentesi selama masa hamil ialah diaforesis luas, terutama pada malam hari,
selama 2 – 3 hari pertama setelah melahirkan.
c.
Uretra dan kandung kemih
Dinding
kandung kemih dapat mengalami hiperemesis dan edema, sering kali disertai
daerah – daerah kecil hemorargi. Pada masa pascapartum tahap lanjut, distensi
yang berlebihan dapat menyebabkan kandumg kemih lebih peka terhadap infeksi
sehingga mengganggu proses berkemih normal.
8.
Sistem pencernaan
Anestesi dapat memperlambat pengambilan tonus otot dan motilitas otot saluran
cerna ke keadaan normal sehingga defekasi bisa tertunda 2–3 hari.
9. Sistem
kardiovaskuler
Denyut
nadi dan jantung meningkat setelah meahirkan karena darah yang biasanya
melintasi ureoplasma tiba–tiba kembali ke sirkulasi umum. Hematokrit meningkat pada hari ke
3–7 pasca partum. Leukisitosis normal pada kehamilan rata-rata sekitar 12.000/mm³.
Selama 10–12 hari pertama setelah bayi lahir, nilai leukosit antara 20.000 dan
25.000/mm³. Varises
ditungkai dan disekitar anus akan mengecil dengan cepat setelah bayi lahir.
10. Sistem
neurologi
Pengaruh
neurologi post operasi biasanya nyeri kepala, pusing, keram disebabkan
anestesi. Lama nyeri kepala bervariasi 1–3 hari sampai beberapa minggu,
tergantung pada penyebab dan efektifitas pengobatan.
Menurut
(Maritalia, 2012), adaptasi psikologis dibagi menjadi beberapa fase diantaranya
yaitu :
a.
Fase
Taking In
Merupakan fase ketergantungan yang
berlangsung dari hari pertama sampai hari ke dua setelah melahirkan. Ibu
terfokus pada dirinya sendiri sehingga cenderung pasif terhadap lingkungannya.
Ketidaknyamanan yang dialami ibu lebih disebabkan karena proses persalinan yang
baru saja dilaluinya. Rasa mules,
nyeri pada jalan lahir, kurang tidur dan kelelahan, merupakan hal yang sering
dikeluhkan ibu. Pada fase ini, kebutuhan istirahat, asupan nutrisi dan
komunikasi yang baik harus dapat terpenuhi. Bila kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi, ibu dapat mengalami gangguan psikologis berupa: kekecewaan pada
bayinya, ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik yang dialami, rasa
bersalah karena belum bisa menyusui bayinya dan kritikan suami atau keluarga
tentang perawatan bayinya.
b.
Fase
Taking Hold
Merupakan fase yang berlangsung antara
3-10 hari setelah melahirkan. Ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
tanggung jawab dalam perawatan bayinya. Perasaan ibu lebih sensitif sehingga
mudah tersinggung. Hal yang perlu diperhatikan adalah komunikasi yang baik,
dukungan dan pemberian penyuluhan atau pendidikan kesehatan tentang perawatan
diri dan bayinya. Penuhi kebutuhan ibu tentang cara perawatan bayinya, cara
menyusui yang baik dan benar, cara perawatan luka jalan lahir, mobilisasi
postpartum, senam nifas, nutrisi, istirahat, kebersihan diri dan lain-lain.
c.
Fase
Letting Go
Fase ini merupakan fase menerima
tanggungjawab akan peran barunya sebagai seorang ibu. Fase ini berlangsung 10
hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai dapat menyesuaikan diri dengan
ketergantungan bayinya dan siapnmenjadi pelindung bagi bayinya. Perawatan ibu
terhadap dirinya dan bayinya semakin
meningkat. Rasa percaya diri ibu akan peran barunya mulai tumbuh, lebih mandiri
dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan bayinya. Dukungan suami dan keluarga dapat
membantu ibu untuk lebih meningkatkan rasa percaya diri dalam merawat bayinya.
Kebutuhan akan istirahat dan nutrisi yang cukup masih sangat diperlukan ibu
untuk menjaga kondisi fisiknya.
K. Diagnosa
Keperawatan dan Fokus
Intervensi
Menurut Green (2012) dan Mitayani (2009), fokus
intervensi dibagi menjadi 5,
yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
Definisi : Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa.
Tujuan
: Dapat mempertahankan tingkat
kenyamanan fisik, pengendalian nyeri, efek yang mengganggu, mengetahu tingkat
nyeri, pengendalian gejala, keparahan gejala.
Kriteria
Hasil :
a. Menggunakan tindakan nyeri non-analgesik
untuk mengurangi nyeri (misal : teknik bernapas).
b. Mendemonstrasikan teknik relaksasi yang
efektif untuk mencapai tingkat kenyamanan yang diungkapkan oleh individu.
c. Mendiskusikan keuntungan dan kerugian
analgesik atau anestesia alternatif yang tersedia.
d. Mempertahankan tingkat nyeri pada (sebutkan)
atau berkurang dengan skala 0 hingga 10.
e. Menggunakan analgesik yang tepat untuk mengendalikan nyeri.
Intervensi
:
1)
Kaji
sifat nyeri (lokasi, frekuensi, keparahan, durasi, faktor pencetus, faktor yang
meredakan), gunakan skala nomor untuk menilai keparahan.
2)
Tentukan
analgesik atau anestetik yang dipilih.
3)
Kaji
tnda-tanda vital dan tingkat kesadaran pada interval yang tepat dan catat.
4)
Tentukan
kemiskinan pengaruh budaya dan agama ibu pada persepsi dan respons ibu terhadap
nyeri.
5)
Jelaskan
dan bimbing klien untuk melakukan tindakan non-farmakologi (misal : terapi
relaksasi sederhana, imajinasi terbimbing).
2. Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
Definisi : Peningkatan resiko terjangkit organisme
patogen.
Tujuan
: Pengetahuan pengendalian
infeksi, pengendalian resiko, deteksi resiko, keutuhan integritas jaringan
kulit, penyembuhan luka baik.
Kriteria
Hasil :
a. Tetap bebas dari infeksi.
b. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kerentanan
seorang terhadap infeksi.
c. Mematuhi prosedur deteksi, yang dibuktikan dengan
mengkaji drainase vagina ataupun luka abdomen, jika diperlukan.
d. Mendemonstrasikan teknik mencuci tangan yang benar.
e. Melakukan tindakan untuk mengurangi resiko infeksi
personal.
f. Inspeksi
insisi terhadap proses penyembuhan.
Intervensi :
1)
Kaji
tanda atau gejala infeksi local atau sistemik (misal : peningkatan suhu,
peningkatan nadi, perubahan drainase atau sekresi, kemerahan tau bengkak pada
lokasi, urine pekat, malaise).
2)
Kaji
nilai laboratorium (misal : darah periksa lengkap, kultur, urinalisasi).
3)
Kaji
status nutrisi.
4)
Kaji
pemajanan penyakit baru-baru ini (misal : rubella, penyakit menular seksual,
hepatitis).
5)
Jelaskan
pentingnya teknik mencuci tangan yang benar.
6)
Ajarkan
klien dan keluarga bagaimana mengenali tanda dan gejala infeksi dan kapan
melapor pada penyedia layanan kesehatan primer.
7)
Ajarkan
dan dorong teknik hygiene perineum yang benar.
8)
Berikan
perawatan kulit yang tepat pada lokasi edema.
9)
Pertahankan
standard an mencuci tangan dengan benar.
10) Tingkat nutrisi yang baik.
3. Resiko tinggi gangguan eliminasi urine (retensi urine)
berhubungan dengan penurunan
tonus otot.
Definisi : Pengosongan
kandung kemih yang tidak tuntas.
Tujuan
: Eliminasi urine dapat
dikendalikan, kemampuan system perkemihan untuk menyaring zat sisa, menyimpan
zat terlarut, dan mengumpulkan serta mengeluarkan urine dengan pola yang sehat.
Kriteria
Hasil :
a. Mengosongkan
kandung kemih dengan urine residu kurang dari 50ml.
b. Mengenali dorongan berkemih dan
memberikan respons tepat waktu.
c. Bebas dari tanda dan gejala infeksi saluran
kemih yang ditunjukkan dengan tidak ada rasa panas, sering berkemih, perasaan
berkemih yang kuat, peningkatan sel darah putih, kultur urine positif.
d. Mengenali awitan gejala, frekuensi,
variasi, dan persistensi.
Intervensi
:
1)
Tentukan
obat yang digunakan ibu.
2)
Periksa
kondisi perineum.
3)
Kaji
kontinensia urine, yang berfokus pada pengeluaran urine, pola berkemih, dan
masalah berkemih yang sudah ada sebelumnya.
4)
Kaji
derajat distensi kandung kemih dengan melakukan palpasi dan perkusi.
5)
Berikan
obat pereda nyeri bila diperlukan.
4. Keletihan
berhubungan dengan anemia
Definisi : Keletihan dideskripsikan
sebagai rasa lelah yang berlebihan. Keletihan ditandai dengan perasaan tidak
mampu yang terus-menerus untuk mempertahankan tingkat aktivitas mental dan
fisik yang biasa dilakukan seseorang. Tingkat energi tidak pulih dengan
istirahat atau tidur biasa, seperti yang terjadi pada keletihan umum. Individu
yang mengalami keletihan kronis perlu dibantu beradaptasi terhadap tingkat
fungsi yang berbeda.
Tujuan
: Tingkat kenyamanan,
ketahanan, konservasi energi, status nutrisi baik, pola istirahat cukup.
Kriteria
Hasil :
a.
Mengungkapkan
perasaan tentang pengaruh keletihan pada gaya hidup.
b.
Mempertahankan
pola tidur dan istirahat yang konsisten.
c.
Menetapkan
prioritas untuk aktivitas sehari-hari.
d.
Menggunakan
teknik konservasi gizi.
e.
Menyesuaikan
gaya hidup dengan tingkat energy.
f.
Mengenali
keterbatasan energi.
g.
Mempertahankan
nutrisi yang adekuat.
Intervensi :
1)
Tentukan
penyebab keletihan.
2)
Kaji
respon psikologis terhadap situasi dan ketersediaan sistem dukungan.
3)
Kaji
stasus nutrisi dan asupan makanan yang biasa dikonsumsi.
4)
Bantu
klien dalam mengidentifikasi pola energi.
5)
Jelaskan
tujuan pengaturan dan penentuan prioritas.
6)
Ajarkan
teknik konservasi energi .
7)
Ajarkan
bagaimana melakukan relaksasi otot atau metode non-farmakologi lain yang
menstimulasi tidur.
8)
Instruksikan
klien untuk mengenali tanda dan gejala keletihan yang menandakan perlunya
mengurangi aktivitas.
5.
Kurang pengetahuan tentang perawatan payudara
berhubungan dengan kurangnya informasi
Definisi : Tidak adanya atau
kurangnya informasi kognitif yang berkaitan dengan topik spesifik.
Tujuan : Ibu dapat melakukan perawatan payudara.
Kriteria
Hasil :
a.
Melakukan
perawatan payudara sendiri.
b.
Menjelaskan
tindakan perawatan payudara untuk mengurangi ketidaknyamanan.
c.
Mendemonstrasikan
pemahaman tentang perawatan payudara.
Intervensi :
1)
Kaji
tingkat pengetahuan ibu.
2)
Jelaskan
tentang perawatan payudara.
3)
Anjurkan
ibu untuk melakukan perawatan payudara.
Identifikasi sumber informasi lain yang didapat
dari ibu.
Request keperawatan jiwa dong
ReplyDelete