Makalah Cedera kepala
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
(Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma
tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak.
(Batticaca Fransisca, 2008)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan
innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif
Muttaqin, 2008)
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak
dapat di bagi menjadi 3 gradasi :
1. Cedera kepala ringan (CKR) =
GCS 13-15
2. Cedera kepala sedang (CKS) =
GCS 9-12
3. Cedera kepala berat (CKB) =
GCS ≤ 8
B.
Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek
dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak. (Arif Muttaqin, 2008)
Macam-macam Pendarahan pada Otak :
1.
Intraserebral hematoma
(ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan
otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang
kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya
daerah hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih
dari 3 cm, perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma
tersebut dapat menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang
dilakukan biaSanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari tulang
kepala.
2.
Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater
dan jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh
darah vena/jematan vena yang biasanya terdapat diantara dura mater, perdarahan
lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural hematoma adalah hematoma yang
terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari
Bridging vein (paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis. Berdasarkan
waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi
subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural
hematoma subakut terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan subdural hematoma kronis
jika peardarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling sering berupa
hemiparere/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hiperdens
yang berupa bulan sabit (cresent).
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi biasanya tulang tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan edema pupil.
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi biasanya tulang tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan edema pupil.
3.
Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma
adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media(paling sering), vena
diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus
duralis.
Secara klinis ditandai
dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara
tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yanag dapat berupa
hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi,
adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan
hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi EDH. Lucid interval
bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada perdarahan
intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan
dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka semakin baik
prognosisnya klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan
kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang pemberian
analgetik.
Pada pemeriksaan CT
scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2
sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau lebih dari 1
cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi
yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikemangkan. Jika saat operasi tidak didapatkan
adanaya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika saat operasi
didapatkan dura mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
C.
Patofisiologi
Patofisiologis dari
cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian
besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan
otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis,
memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap
jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan
kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik
berat.
a.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi.
Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson
difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh
benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah
benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada daerah
yang terkena.
b.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma
menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia(kekurangan o2 dlm
jaringan) dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi
menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya
iskemi(defisiensi darah suatu bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan
jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses
primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung
lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian
belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain.
Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita
sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit
pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti
dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera
kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh
terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan
hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena
benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks
medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang
terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas
deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai
kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi
bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
PATHWAYS
(Arif Muttaqin, 2008)
D.
Tanda dan gejala
Menurut Elizabeth (2001), gambaran klinis cedera kepala
adalah
1. pada kontusio, segera terjadi
kehilangan kesadaran. Pada hematom kesadaran dapat hilang segera atau secara
bertahap seiring dengan membesarnya hematom atau edema interstisium.
2. Pola pernafasan dapat secara
progresif menjadi abnormal
3. Respon pupil dapat lenyap atau
secara progresif memburuk
4. Nyeri kepala dapat muncul segera
atau bertahap seiring dengan peningkatan TIK
5. Dapat timbul muntah-muntah akibat
peningkatan TIK
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
1.
CT scan ( dengan/tanpa
kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
2.
MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
3.
Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4.
Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5.
Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
6.
BAER
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7.
PET
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
8.
CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
9.
Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
10. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
11. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis
menyatakan darah/cairan
13. Analisa gas darah (A’GD/astrup)
Analisa gas darah (A’GD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa
Analisa gas darah (A’GD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa
F. Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala adalah (Arif Muttaqin, 2008) :
1.
Kebocoran cairan
serobospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2.
Kejang-kejang pasca
trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini , minggu pertama) atau
selanjutnya (setelah satu minggu).
3.
Diabetes insipidus,
Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai hipofisis menyulitkan
penghentian sekresi hormon antidiuretik
G.
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain
dari faktor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi.
Keadaan ni dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan
glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial, ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis
intraserebral dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha untuk
menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin
membuat intermitten, iatrogenic paradisis. Intubasi dilakukan sedini
mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang
meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan
tekanan kraanial. Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1.
Bedrest total
2.
Observasi tanda-tanda
vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3.
Pemberian obat-obatan
a.
Dexamethason/kalmethason
sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya
traughma
b.
Terapi hiperventilasi
(trauma kepala berat), berat untuk mengurangi vasodilatasi.
c.
Pengobatan anti-edema
dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol
10%.
d.
Antibiotika yang
mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidasol.
4.
Makanan atau cairan.
Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya
cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
5.
Pada trauma berat.
Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan
cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama(2-3
hari) tidak perlu banyak cairan. Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8
jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadran
rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (25000-3000 TKTP).
Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin, 2008)
H.
PENGKAJIAN
a.
Riwayat kesehatan: waktu kejadian,
penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,
pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
b.
Pemeriksaan fisik head to toe
c.
Sistem respirasi : suara nafas, pola
nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
d.
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan
organ atau pengaruh PTIK
e.
Sistem saraf : Kesadaran klien (nilai
GCS)
f.
Fungsi saraf kranial : trauma yang
mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
g.
Fungsi sensori-motor : adakah
kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia,
hiperalgesia, riwayat kejang.
h.
Sistem pencernaan : bagaimana sensori
adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks
batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
i.
Waspadai fungsi ADH, aldosteron :
retensi natrium dan cairan.
j.
Retensi urine, konstipasi,
inkontinensia.
k.
Kemampuan bergerak : kerusakan area
motorik, hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
l.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada
hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan
saraf fasialis.
m.
Psikososial : ini penting untuk
mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
I.
DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d
depresi pusat napas di otak
Tujuan : Mempertahankan
pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kh :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
·
Hitung
pernapasan pasien dalam satu menit.
Rasional : pernapasan
yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan
lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
·
Cek
pemasangan tube.
Rasional : untuk
memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
·
Observasi
ratio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : pada fase
ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang
sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
·
Perhatikan
kelembaban dan suhu pasien.
Rasional : keadaan
dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan
meningkatkan resiko infeksi.
·
Cek
selang ventilator setiap waktu (15 menit).
Rasional : adanya
obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.
·
Siapkan
ambu bag tetap berada di dekat pasien.
Rasional : membantu
memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2. Bersihan jalan napas tidak
efektif b.d penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan
jalan napas dan mencegah aspirasi
Kh : Suara napas bersih, tidak
terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara
mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
·
Kaji
dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas.
Rasional : ostruksi
dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah
terhadap tube.
·
Evaluasi
pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
Rasional : Pergerakan
yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat
dan tidak adanya penumpukan sputum.
·
Lakukan
pengisapan lendir dengan waktu <15 detik bila sputum banyak.
Rasional : Pengisapan
lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
·
Lakukan
fisioterapi dada setiap 2 jam.
Rasional :
Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran
serta pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan
cerebral b.d udem otak
Tujuan : Mempertahankan
dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kh :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
·
Monitor
dan catat status neurologis menggunakan GCS.
Rasional : mengetahui
status nerologis pasien saat ini
·
Monitor
tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Rasional : Peningkatan
sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler
indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap
infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
·
Pertahankan
posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Rasioal : Perubahan
kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan
menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
·
Observasi
kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Rasional : Kejang
terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan
intrakrania.
·
Berikan
oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Rasional : Dapat
menurunkan hipoksia otak.
·
Berikan
obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
Rasional : Membantu
menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik
untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak,
steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan.
Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri
efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk
menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.
4. Kerusakan mobilitas fisik b.d
penurunan kesadaran
Tujuan : Kebutuhan
dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kh : Kebersihan terjaga, kebersihan
lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
·
Berikan
penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Rasional : Penjelasan
dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada
pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
·
Beri
bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Rasional : Kebersihan
perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut,
telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh
perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
·
Berikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Rasional : Makanan
dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga
kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik
jumlah, kalori, dan waktu.
·
Jelaskan
pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman
dan bersih.
Rasional : Penjelasan
perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.
·
Berikan
bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Rasional : Lingkungan
yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
5. Resiko infeksi b.d luka, gangguan
integritas kranium
Tujuan : klien tidak
mengalami infeksi
Kh :
tanda-tanda vital dalam batas normal, suhu tubuh tidak meningkat
Rencana tindakan :
·
Berikan
perawatan dengan teknik steril
Rasional : mengurangi
resiko infeksi
·
Observasi
daerah yang mengalami luka, adanya peradangan.
Rasional : mengetahui
kondisi luka
·
Berikan
obat antibiotik sesuai program
Rasional : menekan
proses infeksi
·
Monitor
suhu tubuh secara teratur
Rasional : suhu dapat
mengindikasikan terjadinya proses infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, 2008,
Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta :
Salema Medika
Batticaca Fransisca B,
2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta :
Salemba Medika
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah,
Jakarta : Erlangga
Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg
: Erlangga
No comments:
Post a Comment