Sunday 30 October 2016

Makalah Cedera kepala

Makalah Cedera kepala
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008)
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di bagi menjadi 3 gradasi :
1.    Cedera kepala ringan (CKR)        = GCS 13-15
2.    Cedera kepala sedang (CKS)        = GCS 9-12
3.    Cedera kepala berat (CKB)          = GCS ≤ 8
B.     Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak. (Arif Muttaqin, 2008)
Macam-macam Pendarahan pada Otak :
1.      Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm, perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut dapat menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang dilakukan biaSanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari tulang kepala.
2.      Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh darah vena/jematan vena yang biasanya terdapat diantara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural hematoma adalah hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan subdural hematoma kronis jika peardarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling sering berupa hemiparere/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). 
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi biasanya tulang tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan edema pupil. 
3.      Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media(paling sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis.
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yanag dapat berupa hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka semakin baik prognosisnya klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang pemberian analgetik. 
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikemangkan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanaya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika saat operasi didapatkan dura mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
C.     Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a.         Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.

b.         Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia(kekurangan o2 dlm jaringan) dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi(defisiensi darah suatu bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.

PATHWAYS




(Arif Muttaqin, 2008)

D.    Tanda dan gejala
Menurut Elizabeth (2001), gambaran klinis cedera kepala adalah
1.      pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran. Pada hematom kesadaran dapat hilang segera atau secara bertahap seiring dengan membesarnya hematom atau edema interstisium.
2.      Pola pernafasan dapat secara progresif menjadi abnormal
3.      Respon pupil dapat lenyap atau secara progresif memburuk
4.      Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan TIK
5.      Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan TIK
E.     Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi 
1.      CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
2.      MRI 
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif 
3.      Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4.      Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5.      Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
6.      BAER
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil 
7.      PET
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
8.      CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
9.      Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial 
10.  Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran 
11.  Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12.  Toraksentesis
menyatakan darah/cairan
13.  Analisa gas darah (A’GD/astrup)
Analisa gas darah (A’GD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa
F.      Komplikasi 
Komplikasi dari cedera kepala adalah (Arif Muttaqin, 2008) :
1.       Kebocoran cairan serobospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2.      Kejang-kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini , minggu pertama) atau selanjutnya (setelah satu minggu).
3.      Diabetes insipidus, Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai hipofisis menyulitkan penghentian sekresi hormon antidiuretik


G.    Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor mempertahankan fungsi  ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia  serebri yang terjadi.
Keadaan ni dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial, ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat  intermitten, iatrogenic paradisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan kraanial. Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1.      Bedrest total
2.      Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3.      Pemberian obat-obatan 
a.       Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya traughma 
b.      Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi vasodilatasi.
c.       Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%. 
d.      Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4.      Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. 
5.      Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu banyak cairan. Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya. 
(Arif Muttaqin, 2008)
H.    PENGKAJIAN 
a.       Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
b.      Pemeriksaan fisik head to toe
c.       Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
d.      Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
e.       Sistem saraf : Kesadaran klien (nilai GCS)
f.       Fungsi saraf kranial : trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
g.      Fungsi sensori-motor : adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
h.      Sistem pencernaan : bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
i.        Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
j.        Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
k.      Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik, hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
l.        Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
m.    Psikososial : ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
          I.      DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1.      Pola napas tidak efektif b.d depresi pusat napas di otak
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kh       : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
·         Hitung pernapasan pasien dalam satu menit.
Rasional : pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
·         Cek pemasangan tube.
Rasional : untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
·         Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
·         Perhatikan kelembaban dan suhu pasien.
Rasional : keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
·         Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit).
Rasional : adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
·         Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien.
Rasional : membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2.      Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kh      : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
·         Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas.
Rasional : ostruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
·         Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
Rasional : Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
·         Lakukan pengisapan lendir dengan waktu <15 detik bila sputum banyak.
Rasional : Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
·         Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.
Rasional : Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
3.      Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d udem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kh       : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
·         Monitor dan catat status neurologis menggunakan GCS.
Rasional : mengetahui status nerologis pasien saat ini
·         Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Rasional : Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
·         Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Rasioal : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
·         Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Rasional : Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.
·         Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Rasional : Dapat menurunkan hipoksia otak.
·         Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
Rasional : Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.

4.      Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kesadaran
Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kh     : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
·         Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Rasional : Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
·         Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Rasional : Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
·         Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Rasional : Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
·         Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
Rasional : Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.
·         Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Rasional : Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
5.      Resiko infeksi b.d luka, gangguan integritas kranium
Tujuan : klien tidak mengalami infeksi
Kh       : tanda-tanda vital dalam batas normal, suhu tubuh tidak meningkat
Rencana tindakan :
·         Berikan perawatan dengan teknik steril
Rasional : mengurangi resiko infeksi
·         Observasi daerah yang mengalami luka, adanya peradangan.
Rasional : mengetahui kondisi luka
·         Berikan obat antibiotik sesuai program
Rasional : menekan proses infeksi
·         Monitor suhu tubuh secara teratur
Rasional : suhu dapat mengindikasikan terjadinya proses infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta : Salema Medika
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga

No comments:

Post a Comment

Makalah Asfiksia

LANDASAN TEORI A.     Pengertian Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terl...