Sunday 30 October 2016

Makalah Difteri

BAB I
LANDASAN TEORI
A.PENGERTIAN
Menurut A.Aziz Alimul Hidayat, difteri merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae yang bersifat gram positif, polimorf, dan tidak membentuk spora. Penyakit ini mudah menyerang anak-anak melalui udara atau pada alat yang terkontaminasi.
                  Sedangkan menurut Sumarmo 2002, difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, yang disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
                  Difteri adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari bahasa Yunani, diphtera yang berarti leather hide. Penyakit ini disebut pertama kali oleh Hyppocrates pada abad ke-5 SM dan epidemi pertama terjadi pada abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama kali pada membran penderita difteri tahun 1883 oleh Klebs. Antitoksin ditemukan pertama kali pada akhir abad ke-19, sedangkan toksoid dibuat sekitar tahun 1920. (Vivian, 2010)
B.KLASIFIKASI
            Menurut Sumarmo 2002, klasifikasi difteri berdasarkan letaknya dibedakan menjadi 4 yaitu:
1.  Difteri hidung
2.  Difteri tonsil faring
3.  Difteri laring
4.  Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
1.         Difteri hidung
Difteri yang terjadi di hidung, pada awalnya menyerupai commond cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus  dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
2.          Difteri tonsil faring
Difteri yang ditandai dengan anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membrane akan mengakibatkan perdarahan.
3.      Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif,  suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
4.      Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
 Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan berbau.


C.ETIOLOGI
                        Menurut Sumarmo 2002, penyebab difteri adalah bakteri  Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
                        Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin yaitu, gravis, intermediate, dan mitis.
a.       Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
b.      Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
c.       Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
D.MANIFESTASI KLINIS
                        Tanda gejala dari difteri menurut Sumarmo 2002, yaitu tergantung pada lokasi tempat infeksi, imunitas pasien, ada tidaknya toksin dalam sirkulasi darah.
Gejala klinis: Masa tunas antara 1-6 hari
Gejala umum:
1.      Demam
2.      Pilek
3.      Sesak napas
4.      Batuk
E.PATOFISIOLOGI
                         Bakteri C.diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limpa dan pembuluh darah.efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul local dan menjalar dari laring, faring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan kondisi yang fatal.
                         Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membrane dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan napas. Gangguan pernapasan dapat terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi sraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bias disertai gejala hipoglikemia kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.


F.PATHWAY
 


G.PENATALAKSANAAN
                   Tujuan pengobatan penderita difteri, menurut Sumarmo 2002 ialah untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan menguasahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
                  Penatalaksanaan umum:
a. Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui selama 2-3 minggu
b.Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu
c. Pemberian cairan dan diet yang adekuat.
Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
d.      Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
e. Berikan oksigen apabila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas.
Penatalaksanaan khusus:
a.       Antitoksin : Anti Diphtheriae Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1 %. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke 6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30 %.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit dan amat terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi induraksi >10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit dan mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI. Pemebrian ADS intravena dalam larutan fisiologis atau 100 ml glukosa 5 % dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness)
Dosis ADS menurut lokasi membrane dan lama sakit
Tipe difteria
Dosis ADS (KI)
Cara Pemberian
Difteria hidung
20.000
Intramuscular
Difteria tonsil
40.000
Intramuscular atau intravena
Difteria faring
40.000
Intramuscular atau intravena
Difteria laring
40.000
Intramuscular atau intravena
Kombinasi lokasi diatas
80.000
Intravena
Difteria + penyulit, bullneck
80.000-100.000
Intravena
Trelambat berobat (> 72 jam), lokasi dimana saja
80.000-100.000
Intravena
b.Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritrosmisin 40 mg/kgBB/hari.
c. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dapat
diberikan prednison 2 mg/kgbb/hari,selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.

PENCEGAHAN
               Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibody terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria ringan.
H.PEMERIKSAAN PENUNJANG
                        Menurut FKUI tahun 2007, dapat diketahui terkena difteria yaitu dengan dilakukannya pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
  1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
  2.  Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
  3.  Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
  4.  Enzim CPK, segera saat masuk RS
  5.  Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
  6.  EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
  7. Tes schick
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)
I.PENGKAJIAN
Menurut Doengoes, E Marlynn 1999, pengkajian keperawatannya meliputi:
1.      Anamnese
2.      Keluhan utama
Anak dengan difteri keluhan utamanya biasanya sesak napas dan demam
3.      Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4.      Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah.
5.      Riwayat kesehatan keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6.      Pemeriksaan fisik
a.       B1: Breathing (Respiratory System)
Pernapasan tidak efektif (Sesak nafas)
b.      B2: Blood (Cardiovascular system)
Didapatkan tachicardi
c.       B3: Brain (Nervous system)
Normal
d.      B4: Bladder (Genitourinary system)
Normal
e.       B5: Bowel (Gastrointestinal System)
Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
f.       B6: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit jelek
J.DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan difteri menurut Aziz Alimul Hidayat 2010 adalah sebagai berikut:
  1. Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
Kriteria Hasil:
a.                   Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
b.                   Pernapasan tetap pada batas normal
No
Intervensi
Rasional
1.
Monitor perubahan frekuensi napas, kedalaman, dan tipe pernapasan
Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi
2.
Berikan oksigenasi sesuai dengan ketentuan
Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien
3.
Atur posisi dengan membaringkan setengah duduk (semi fowler)
Memudahkan pernapasan pasien
4.
Kolaborasi dengan dokter pemberian ADS
Menetralisir toksin sehingga mengurangi peradangan
2.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan menelan dan anoreksia
Tujuan: Meningkatkan nafsu makan sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil:
a.       Klien dapat meningkat berat badan sesuai tujuan
b.      Klien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi
No.
Intervensi
Rasional
1.
Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan
Menentukan pilihan makanan yang tepat.

2.
Berikan makan sedikit dan sering hingga jumlah asupan nutrisi tercukupi
Meningkatkan asupan nutrisi
3.
Berikan diet dalam bentuk hangat dan sediaan lunak/bubur serta penyajian yang menarik
Meningkatkan nafsu makan
4.
Pemasangan NGT
Mempermudah masukan nutrisi
5.
Kolaborasi dengan ahli gizi
Memberikan asupan nutrisis yang sesuai dengan kondisi anak
3.      Nyeri berhubungan dengan proses patologis
Tujuan: memberikan kenyamanan pada anak sehingga anak mampu menoleransi nyeri hingga batas toleransi nyeri.
Kriteria hasil:
a.       Nyeri dapat berkurang
b.      Klien dapat istirahat dengan nyaman
No
Intervensi
Rasional
1.
Berikan mainan-mainan pada anak
Mengalihkan perasaan nyeri yang dialami
2.
Monitor perubahan nyeri dan tanda vital
Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi
3.
Latih tehnik relaksasi
Mengurangi nyeri yang dialami
4.
Libatkan orang tua dalam perawatan anak
Memberikan kenyamanan pada anak
5.
Kolaborasi dengan dokter pemberian pbat analgetik dan antibiotik
Menurunkan intensitas nyeri
4.      Resiko terjadinya komplikasi yang disebakan oleh kuman difteri yang masuk ke dalam tubuh
Tujuan: mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut dengan cara memperbaiki dan meningkatkan kekebalan tubuh anak
Kriteria hasil:
a.       Tidak terjadi komplikasi
b.      Kekebalan anak berangsur membaik
No
Intervensi
Rasional
1.
Monitor adanya tanda komplikasi dan tanda vital
Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi dan mengetahui adakah komplikasi
2.
Berikan perawatan isolasi
Memberikan kenyamanan pada pasien
3.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian ADS
Meningkatkan penyembuhan pasien
4.
Berikan istirahat total selama kurang lebih 3 minggu
Meningkatkan penyembuhan pasien
5.
Kolaborasikan dalam tindakan pengobatan khususnya pada miokarditis, kelainan saraf dan ginjal
Mengurangi resiko komplikasi


Daftar Pustaka

Hidayat, A. Aziz Alimul.2010.Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.
Jakarta:Salemba Medika.
Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester.Jakarta:EGC
Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta
Sumarmo.2002.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:FKUI
Vivian, Nanny Lia Dewi. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi, Anak dan Balita.

Jakarta:Salemba Medika

Makalah Asfiksia

LANDASAN TEORI A.     Pengertian Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terl...