BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah
besarnya ukuran prostat biasanya diiringi dengan bertambahnya usia pada seorang
pria, membesarnya prostat menyebabkan fungsi leher buli dan uretra pars
prostatika menjadi terganggu, menimbulkan obstruksi saluran keluar buli. ( Iskandar,
2009)
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya
pelebaran pada prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan
di bawah kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan
retensi urin.( Aulawi, 2014)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan benigna
prostat hiperplasia adalah pembesaran pada kelenjar prostat yang sebagian besar
dialami laki-laki lanjut usia ditandai dengan gejala sering kencing dan retensi
urin.
B. Etiologi
B. Etiologi
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa pembesaran
prostat terjadi akibat peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan, tetapi sampai saat ini belum di ketahui pasti penyebab terjadinya BPH.
Selain faktor peningkatan kadar dihidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan ada beberapa hipotesis yang di duga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat, yaitu :
1. Dihydrostestosteron
adalah pembesaran pada epitel dan stoma kelenjar prostat yang disebabkan peningkatan
5 alfa reduktase dan reseptor andorogen. ( Muttaqin, 2014)
2. Adanya
ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen dimana terjadi
peningkatan estrogen dan penurunan testosteron sehingga mengakibatkan
pembesaran pada prostat. ( Muttaqin, 2014)
3. Interaksi
antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast
growth factor dan penurunan transforming factor beta menyebabkan hiperplasia
stroma dan epitel. ( Muttaqin, 2014)
4. Peningkatan
estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma dan epitel dari kelenjar
prostat. ( Muttaqin, 2014)
5. Teori
sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi berlebihan
pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan proliferasi sel sel
prostat. ( purnomo, 2008)
C.
Manifestasi
klinis
Tanda
gejala yang muncul pada pasien penderita Benigna Prostat Hiperplasia adalah :
1. Kesulitan
mengawali aliran urine karena tekanan pada uretra dan leher kandung kemih.
(Aulawi, 2014)
2. Frekuensi
perkemihan, sering kencing arean tekanan pada kandung kemih. (Aulawi, 2014)
3. Urgensi
perkemihan, perlu segera kekamar mandi
karena tekanan pada kandung kemih. (Aulawi, 2014)
4. Nocturia
adalah sering bangun malam hari untuk kencing karena tekanan pada kandung
kemih. (Aulawi, 2014)
5. Turunya
kekuatan aliran air kemih. (Aulawi, 2014)
6. Aliran
urine keluar yang tidak lancar. (Aulawi, 2014)
7. Hematuria
adalah kondisi dimana urine keluar bercampur darah. (Aulawi, 2014)
D.
Pafisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring
dengan pertambahan usia pada proses penuaan menimbulkan perubahan keseimbangan
antara hormon testosteron dan estrogen keadaan ini dapat menyebabkan pembesaran
prostat, jika terjadi pembesaran prostat maka dapat meluas ke kandung kemih, sehingga
akan mempersempit saluran uretra prostatica dan akhirnya akan menyumbat aliran
urine.
Penempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan
tekanan pada intravesikal. Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan
otot detrusor dan kandung kemih akan berkontraksi lebih kuat saat memompa urine,
penegangan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari
buli buli berupa : pembesaran pada otot
detrusor, trabekulasi terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel kandung
kemih.
Tekanan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan
aliran balik urine ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal.(Muttaqin, 2014)
Salah satu upaya pengobatan pada penderita benigna
prostat hiperplasi adalah pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada
perut bagian bawah, kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat
yang mengalami pembesaran, untuk mencegah pembentukan pembekuan darah dialirkan
cairan via selang melalui kandung kemih, selang biasanya dibiarkan dalam
kandung kemih sekitar 5 hari setelah operasi dan kemudian dikeluarkan jika
tidak ada pendarahan.
F.
Pemeriksaan
Penunjang
Menurut Sjamsuhidajat (2010), pemeriksaan penunjang
dari BPH yang dapat dilakukan sebagai berikut :
1.
Pemeriksaaan pencitraan
Pemerikasaan
radiologi, seperti foto polos perut dan pielografi intravena, dapat diperoleh
keterangan mengenai penyakit ikutan, missalnya batu saluran kemih,
hidronefrosis atau divertikulum kandung kemih. Kalau foto dibuat setelah miksi
dapat dilihat sisa urine. Pembesaran prostat dapat didliihat sebagai lesi defek
isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran
prostat dapat di perkirakan apabila dasar buli buli pada gambaran sistogram
tampak terangkat atau ujumg distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti
mata kail, apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik
atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram
retrograt.
2.
Ultrasonografi
Dapat
dilakukan trnasabdominal atau transrekta l( transectal ultrasonografy, TRUS).
Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonografi dapat
pula menetukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain
seperti divertilikum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografy transrektal, dapat
diukur berapa besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan
besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.
3.
Pemeriksaan sistografi
Dilakukan
apabila pada anamnese ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan
mikrohematuria. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di
dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari
muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu sistoskopi dapat
juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra
pars prostaika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
G.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH
adalah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah
miksi dan mecegah progretifitas penyakit.
1.
Watchfull waiting
Terapi
ini ditujukan pada pasien dengan keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari hari. Pasien tidak diberi terapi apapun tetapi hanya dijelaskan mengenai
keluhan yang dapat memperburuk keluhanya misalnya , jangan mengkonsumsi kopi
atau alkohol setelah makan, mengurangi pengguanaan obat obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, kurangi makan pedas dan asin, jangan menahan kencing terlalu
lama.
2.
Medikamentosa
Tujuan
terapi medikametosa adalah berusaha untuk: mengurangi resistensi otot polos
postat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan
obat-obatan penghambat adrenergic alfa ( adrenergic alfa blocker ), mengurangi
volume prostat sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar
hormone testosterone atau dihidrotestosteron ( DHT ) melalui penghambat 5α
reduktase.
a.
Penghambat reseptor adrenergic-α seperti:
1)
Fenoksibenzamin : mampu memperbaiki laju pancaran
miksi dan mengurangi keluhan miksi.
2)
Prazosin, terazosin, afluzosin dan doksazosin
yang diberikan 2x sehari yang dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran
urine.
3)
Tamsulosin : mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa
menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
b.
Penghambat 5α-reduktase
Finasteride 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah
enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki
keluuhan miksi dan pancaran miksi.
c.
Fitoterapi
Jenis
fitoterapi : Pygeum africanum, Serenoa
repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dll fungsi fitoterapi sendiri adalah
anti esterogen, anti androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin (
SHBG ), inhibisi basic fibroblast growth factor ( BFGF ) , efek anti inflamasi,
menurunkan outflow resistancedan memperkecil volume prostat.
3. Pembedahan
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang,
mengalami tidak menunjukkkan perbaikan setelah terapi medikametosa, mengalami
retensi urine, mengalami infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal
ginjal, timbulnya baru saluran kemih atau penyakit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah. Pembedahan yang dapat dilakukan antara lain:
a.
Operasi prostatektomi terbuka
Dilakukan pada daerah suprapubik transvesika atau retropubik
infravesikal. Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar
( >100 gram ). Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka
adalah inkontinensia urine (3 %), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde
(60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Perbaikan gejala klinis
sebanyak 85-100% dengan angka mortalitas sebanyak 2%.
b.
TURP ( Transurethral Resection of the Prostate )
Dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan
irigan ( pembilas ) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan berupa laturan non ionic, yang
dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang
sering dipakai yaitu H2O ( aquades ). Kerugian aquades adalah sifatnya yang
hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui vena
yang terbuka saat reseksi. Kelebihan aquades dapat menyebabkan hiponatremia relative
atau gejala intoksikasi air atau sindroma TURP. Sindrom ini ditandai dengan
pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan
bradikardi. Jika tidak segera diatasi pasien akan mengalami edema otak yang
akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP sebesar
0,99 %. Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP tindakan reseksi tidak
boleh dilakukan lebih dari 1 jam dan untuk mengurangi penyerapan air ke
sirkulasi sistemik dapat dipasang sistostomi suprapubik dahulu sebelum reseksi.
c.
Elektrovaporisasi Prostat
Cara ini adalah sama dengan TURP, namun cara ini
memakai teknik roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup
kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini hanya
diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram), tidak banyak
menimbulkan perdarahan saat operasi dan masa mondok di rumah sakit lebih
singkat namun membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
d.
TUIP (Transuretheral incision of the prostate) dan BNI
( Bledder Neck Incision )
Dilakukan pada hyperplasia prostat yang tidak terlalu
besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya lebih
muda. Sebelum melakukan tindakan ini harus disingkirkan kemungkinan adanya
karsinoma prostate dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan
ultrasonografi transrektal dan pengukuran kadar PSA.
e.
Laser Prostatektomi
Bila dibandingkan dengan tindakan operasi , pemakaian
laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dilakukan secara
poliklinis, penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.
4. Tindakan
Invasif Minimal
a. Termoterapi
Termoterapi
kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi
915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan didalam uretra.
Dengan pemanasan yang melebihi 44ᵒC menyebabkan destruksi jaringan pada zona
transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat dikerjakan
secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan. Energy panas yang bersamaan dengan
gelombang mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam uretra.
Besar dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah computer sehingga dapat
melunakan jaringan prostat yang membuntu uretra. Mordibitasnya relative rendah,
dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh pasien yang kondisinya
kurang baik jika mengalami pembedahan. Cara ini direkomendasikan bagi prostat
yang ukurannya kecil.
b. TUNA
(Transurethral needle ablation of the prostate)
Teknik ini
memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai
100ᵒC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas
kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi
pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan kedalam uretra melalui
sistoskopi dengan pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang
terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali
masih mengeluh hematuria.
c. Pemasangan
Stent (prostacath)
Stent
prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pemebsaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli dan
disebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen
uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang
temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap
dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas
kembali secara endoskopi. Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan
logam super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan
diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus
membutuhkan anestesi umum atau regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup
tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior
atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien
masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau
rasa tidak enak didaerah penis.
d. HIFU (High
intensity focused ultrasound)
Energy panas
yang ditimbulkan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal dari gelombang
ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10
Mhz. energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan
ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis
menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Q maksimal rata-rata
meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan
sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun. Meskipun
sudah banyak modalitas yang telah diketemukan untuk mengobati pembesaran
prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah
TUR prostat.
(B Purnomo
Basuki, 2008)
H. Komplikasi
Kemungkinan
komplikasi yang muncul pada pasien BPH adalah :
1.
Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung
kemih.
2.
Refluks kandung kemih, hidroureter, dan hidronefrosis.
3.
Gross hematuria dan urienary tract infection.
( Nursalam, 2006)
I. Pengkajian keperawatan
Fokus
pengkajian pada pasien dengan BPH adalah :
1.
Kaji riwayat adanya gejala meliputi serangan,
frekuensi urinaria setiap hari, berkemih padamalam hari, sering berkemih,
perasaan tidak dapat mengkosongkan vasika urinaria, dan menurunya pancaran
urine.
2.
Lakukan pemeriksaan rektal ( palpasi ukuran, bentuk
dan konsistensi) dan pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi distensi kandung
kemih serta derajat pembesaran abdomen.
3.
Lakukan pemeriksaan erodinamik yang sederhana,
uroflowmetri, dan pengukuran residual prostat, jika di indikasikan. ( Nursalam,
2006)
J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia yang muncul antara lain :
1. Nyeri
akut berhubungan dengan agens cedera (biologis, zat kimia, fisik, psikologis) (
Nanda, 2012).
2. Hambatan
mobilitas ditempat tidur berhubungan dengan keterbatasan lingkungan, peralatan terapi. (Nanda, 2012).
3. Gangguan
eliminasi urin berhubungan dengan efek pembedahan pada sfingter kandung kemih
sekunder akibat: pascaprostatektomi (Carpenito, 2006).
4. Resiko
infeksi berhubungan dengan adanya masukan mikroorganisme, prosedur invasive,
trauma (Nanda, 2012).
5. Resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
(Nanda, 2012).
6. Resiko
cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran. (Carpenito, 2006)
K.
Intervensi
Keperawatan
Fokus
intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasia adalah :
1.
Nyeri akut berhubungan dengan agens
stress cedera (biologis, zat kimia, fisik, psikologis) (Nanda, 2012).
Tujuan
: dapat
mengontrol nyeri, nyeri
dapat
berkurang/hilang.
Kriteria
Hasil : ekspresi wajah tampak tenang/rileks, skala nyeri 0-3.
Intervensi
:
a.
Lakukan pengkajian nyeri meliputi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan
nyeri
Rasional: meberikan informasi untuk membantu dalam
menentukan pilihan / keefektifan
intervensi.
b.
Berikan informasi tentang nyeri,
penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur
Rasional: memberikan infomasi pengetahuan tentang
penyakit yang dialam.
c.
Observasi tanda-tanda vital
Rasional: untuk mengetahui keadaan umum pasien.
d.
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologik
misal teknik nafas dalam bila nyeri timbul
Rasional: meingkatkan relaksasi, memfokuskan kembali
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping..
e.
Pemberian Analgesik memberikan penurunan
spasme dan nyeri
Rasional: diberikan untuk menghilangka nyeri berat,
memberikan relaksasi: mental dan fisik.
2.
Resiko infeksi berhubungan dengan adanya
masuknya mikroorganisme, prosedur invasive, trauma (Nanda, 2012).
Tujuan
: Terbebasnya dari tanda atau gejala infeksi
Kriteria
Hasil : Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, Klien bebas
dari tanda dan gejala infeksi.
Intervensi
:
a.
Observasi dan laporkan tanda gejala
infeksi (kemerahan, panas, nyeri, bengkak, pus)
Rasional: mengetahui peningkatan terjadinya resiko
terjadinya infeksi pada luka
b.
Kaji warna kulit kelembaban, tekstur,
dan turgor kulit
Rasional: mengetahui perubahan keadaan sekitar luka
c.
Lakukan teknik steril dalam perawatan
kebersihan luka
Rasional: pencegahan pemasukan bakteri, kuman dan
infeksi
d.
Ajarkan
pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Rasional
: memberi informasi terhadap keluarga mengenai tanda infeksi
e.
Kolaborasi pemberian antibiotik dalam
pencegahan infeksi
Rasional: diberikan untuk pencegahan resiko infeksi
3.
Hambatan mobilitas ditempat tidur
berhubungan dengan ketrbatasan lingkungan (ukuran tempat tidur, tipe tempat
tidur, peralatan terapi, restrain) (Nanda, 2012).
Tujuan
: Mampu mengubah posisi sendiri ditempat tidur
Kriteria
Hasil : dapat melakukan aktivitas secara mandiri (terlentang-duduk, miring
kanan-kiri)
Intervensi
:
a.
Kaji tingkat ketergantungan klien
Rasional: mengetahui seberapa tingkat kemampuan gerak
klien
b.
Observasi hambatan mengatur posisi
ditempat tidur
Rasional: mengetahui terjadinya permasalahan dalam
berubah posisi ditempat tidur
c.
Mengajarkan latihan ROM seperti miring
kanan-kiri secara bertahap
Rasional: memberikan latihan bergerak dalam mengatur
posisi
d.
Anjurkan untuk tirah baring pada klien
Rasional: memberikan kenyamanan dan keamanan klien
e.
Berikan latihan gerak aktif dan pasif
supaya tidak kaku pada persendi.
Rasional: mencegah pengkakuan poda otot, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
4.
Resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (Nanda, 2012).
Tujuan
: keseimbangan cairan, dehidrasi yang adekuat dapat terpenuhi
Kriteria
Hasil: memperhatikan urin output, vital saign dalam batas normal, tidak ada
tanda dehidrasi (membran mukosa lembab, turgor kulit baik)
Intervensi
:
a.
Monitor tanda dehidrasi
Rasional: mengetahui seberapa banyak pemasukan cairan
b.
Pertahankan catatan intek dan output
yang adekuat
Rasional: membantu dalam pemasukan dan pengeluaran
cairan
c. Monitor
vital sign
Rasional: mengetahui keadaan umum klien
d. Dorong
masukan peroral
Rasional: menentukan/ memilih tindakan terjadinya
dehidrasi
e. Kolaborasi
pemberian cairan/makanan
Rasional: berguna dalam pencegahan dehidrasi berat
pada klien
5.
Gangguan eliminasi urin berhubungan
dengan efek pembedahan pada sfingter kandung kemih sekunder akibat:
pascaprostatektomi (Carpenito, 2006).
Tujuan
: induvidu menjadi kontinen
Kriteria
Hasil: Menunjukkan kontinensia urin,
eliminasi urin tidak terganggu > 150 cc
Intervensi
:
a.
Pertahankan pola eliminasi urin yang
optimal
Rasional: meminimalkan retensi urine yang belebih pada
kandung kemih
b.
Kaji faktor yang meningkatkan insiden
Rasional: menentukan faktor terjadinya peningkatan
retensi urine
c.
Instruksikan klien untuk berespon segera
mungkin terhadap kebutuhan berkemih
Rasional: membantu dalam berkemih sesuai aturan
d.
Pantau eliminasi urin, meliputi
frekuensi, konsistensi, volume, warna, bau
Rasional: berguna untuk menevaluasi obstruksi dan
pilihan intervensi
e.
Intruksikan keluarga memperhatikan
haluaran urin dan mencatat bila perlu
Rasional: membantu untuk mengetahui peningkatan
haluaran urin
6.
Resiko
tinggi cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
Tujuan : individu menyatakan cedera
lebih sedikit dan rasa takut cedera berkurang, cedera tidak terjadi.
Kriteria hasil : mengidentifikasi
faktor faktor yang mempengaruhi resiko cedera, mengungkapkan maksud untuk
melakukan tindakan pencegahan tertentu, meningkatkan aktivitas harian bila
memungkinkan.
Intervensi :
a.
Awasi
individu secara ketat selama beberapa malam untuk menjaga keamanan
Rasional : memantau aktivitas klien
b.
Ajarkan
penggunaan kruk, tongkat dan wolker
Rasional : membantu dalam aktivitas
c.
Gunakan
tempat tidur yang rendah dengan pagar terpasang
Rasional : mencegah jatuh saat
mobilisasi yang tidak disadari
d.
Ciptakan
lingkungan yang aman : lantai kering
Rasional : mencegah agar tidak
terpeleset
e.
Letakkan
pispot dekat tempat tidur atau pispot kursi di depan klien
Rasional : mengurangi kelelahan dengan menghemat
tenaga klien untuk kekamar mandi.
No comments:
Post a Comment