Tuesday, 1 November 2016

Makalah Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat biasanya diiringi dengan bertambahnya usia pada seorang pria, membesarnya prostat menyebabkan fungsi leher buli dan uretra pars prostatika menjadi terganggu, menimbulkan obstruksi saluran keluar buli. ( Iskandar, 2009)
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin.( Aulawi, 2014)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan benigna prostat hiperplasia adalah pembesaran pada kelenjar prostat yang sebagian besar dialami laki-laki lanjut usia ditandai dengan gejala sering kencing dan retensi urin.
B.     Etiologi
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa pembesaran prostat terjadi akibat peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan, tetapi sampai saat ini belum di ketahui pasti penyebab terjadinya BPH.
Selain faktor peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan ada beberapa hipotesis yang di duga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat, yaitu :
1.    Dihydrostestosteron adalah pembesaran pada epitel dan stoma kelenjar prostat yang disebabkan peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor andorogen. ( Muttaqin, 2014)
2.    Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen dimana terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron sehingga mengakibatkan pembesaran pada prostat. ( Muttaqin, 2014)
3.    Interaksi antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel. ( Muttaqin, 2014)
4.    Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma dan epitel dari kelenjar prostat. ( Muttaqin, 2014)
5.    Teori sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan proliferasi sel sel prostat. ( purnomo, 2008)
C.    Manifestasi klinis
Tanda gejala yang muncul pada pasien penderita Benigna Prostat Hiperplasia adalah :
1.    Kesulitan mengawali aliran urine karena tekanan pada uretra dan leher kandung kemih. (Aulawi, 2014)
2.    Frekuensi perkemihan, sering kencing arean tekanan pada kandung kemih. (Aulawi, 2014)
3.    Urgensi perkemihan,  perlu segera kekamar mandi karena tekanan pada kandung kemih. (Aulawi, 2014)
4.    Nocturia adalah sering bangun malam hari untuk kencing karena tekanan pada kandung kemih. (Aulawi, 2014)
5.    Turunya kekuatan aliran air kemih. (Aulawi, 2014)
6.    Aliran urine keluar yang tidak lancar. (Aulawi, 2014)
7.    Hematuria adalah kondisi dimana urine keluar bercampur darah. (Aulawi, 2014)
D.    Pafisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring dengan pertambahan usia pada proses penuaan menimbulkan perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen keadaan ini dapat menyebabkan pembesaran prostat, jika terjadi pembesaran prostat maka dapat meluas ke kandung kemih, sehingga akan mempersempit saluran uretra prostatica dan akhirnya akan menyumbat aliran urine.
Penempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada intravesikal. Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot detrusor dan kandung kemih akan berkontraksi lebih kuat saat memompa urine, penegangan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli buli  berupa : pembesaran pada otot detrusor, trabekulasi terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel kandung kemih.
Tekanan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan aliran balik urine ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal.(Muttaqin, 2014)
Salah satu upaya pengobatan pada penderita benigna prostat hiperplasi adalah pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada perut bagian bawah, kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat yang mengalami pembesaran, untuk mencegah pembentukan pembekuan darah dialirkan cairan via selang melalui kandung kemih, selang biasanya dibiarkan dalam kandung kemih sekitar 5 hari setelah operasi dan kemudian dikeluarkan jika tidak ada pendarahan.

E Pathway 


F.     Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sjamsuhidajat (2010), pemeriksaan penunjang dari BPH yang dapat dilakukan sebagai berikut :
1.      Pemeriksaaan pencitraan
Pemerikasaan radiologi, seperti foto polos perut dan pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, missalnya batu saluran kemih, hidronefrosis atau divertikulum kandung kemih. Kalau foto dibuat setelah miksi dapat dilihat sisa urine. Pembesaran prostat dapat didliihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat di perkirakan apabila dasar buli buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujumg distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail, apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograt.
2.      Ultrasonografi
Dapat dilakukan trnasabdominal atau transrekta l( transectal ultrasonografy, TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menetukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertilikum, tumor, dan batu. Dengan ultrasonografy transrektal, dapat diukur berapa besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.
3.      Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnese ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostaika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
G.    Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah miksi dan mecegah progretifitas penyakit.
1.    Watchfull waiting
Terapi ini ditujukan pada pasien dengan keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari hari. Pasien tidak diberi terapi apapun tetapi hanya dijelaskan mengenai keluhan yang dapat memperburuk keluhanya misalnya , jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan, mengurangi pengguanaan obat obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makan pedas dan asin, jangan menahan kencing terlalu lama.
2.    Medikamentosa
Tujuan terapi medikametosa adalah berusaha untuk: mengurangi resistensi otot polos postat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa ( adrenergic alfa blocker ), mengurangi volume prostat  sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone atau dihidrotestosteron ( DHT ) melalui penghambat 5α reduktase.
a.       Penghambat reseptor adrenergic-α seperti:
1)      Fenoksibenzamin : mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.
2)      Prazosin, terazosin, afluzosin dan doksazosin  yang diberikan 2x sehari yang dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine.
3)      Tamsulosin : mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
b.      Penghambat 5α-reduktase
Finasteride 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki keluuhan miksi dan pancaran miksi.
c.       Fitoterapi
Jenis fitoterapi  : Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dll fungsi fitoterapi sendiri adalah anti esterogen, anti androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin ( SHBG ), inhibisi basic fibroblast growth factor ( BFGF ) , efek anti inflamasi, menurunkan outflow resistancedan memperkecil volume prostat.
3.    Pembedahan
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang, mengalami tidak menunjukkkan perbaikan setelah terapi medikametosa, mengalami retensi urine, mengalami infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal, timbulnya baru saluran kemih atau penyakit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pembedahan yang dapat dilakukan antara lain:
a.       Operasi prostatektomi terbuka
Dilakukan pada daerah suprapubik transvesika atau retropubik infravesikal. Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar ( >100 gram ). Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia urine (3 %), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100% dengan angka mortalitas sebanyak 2%.
b.      TURP ( Transurethral Resection of the Prostate )
Dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan ( pembilas ) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan berupa laturan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai yaitu H2O ( aquades ). Kerugian aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui vena yang terbuka saat reseksi. Kelebihan aquades dapat menyebabkan hiponatremia relative atau gejala intoksikasi air atau sindroma TURP. Sindrom ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan bradikardi. Jika tidak segera diatasi pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP sebesar 0,99 %. Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP tindakan reseksi tidak boleh dilakukan lebih dari 1 jam dan untuk mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik dapat dipasang sistostomi suprapubik dahulu sebelum reseksi.
c.       Elektrovaporisasi Prostat
Cara ini adalah sama dengan TURP, namun cara ini memakai teknik roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram), tidak banyak menimbulkan perdarahan saat operasi dan masa mondok di rumah sakit lebih singkat namun membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
d.      TUIP (Transuretheral incision of the prostate) dan BNI ( Bledder Neck Incision )
Dilakukan pada hyperplasia prostat yang tidak terlalu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya lebih muda. Sebelum melakukan tindakan ini harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostate dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal dan pengukuran kadar PSA.
e.       Laser Prostatektomi
Bila dibandingkan dengan tindakan operasi , pemakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dilakukan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.
4.      Tindakan Invasif Minimal
a.       Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan didalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44ᵒC menyebabkan destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat dikerjakan secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan. Energy panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah computer sehingga dapat melunakan jaringan prostat yang membuntu uretra. Mordibitasnya relative rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh pasien yang kondisinya kurang baik jika mengalami pembedahan. Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.
b.      TUNA (Transurethral needle ablation of the prostate)
Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai 100ᵒC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan kedalam uretra melalui  sistoskopi dengan pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih mengeluh hematuria.
c.       Pemasangan Stent (prostacath)
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pemebsaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli dan disebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak didaerah penis.
d.      HIFU (High intensity focused ultrasound)
Energy panas yang ditimbulkan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 Mhz. energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Q maksimal rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun. Meskipun sudah banyak modalitas yang telah diketemukan untuk mengobati pembesaran prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah TUR prostat.
(B Purnomo Basuki, 2008)
H.    Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang muncul pada pasien BPH adalah :
1.      Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung kemih.
2.      Refluks kandung kemih, hidroureter, dan hidronefrosis.
3.      Gross hematuria dan urienary tract infection.
( Nursalam, 2006)
I.       Pengkajian keperawatan
Fokus pengkajian pada pasien dengan BPH adalah :
1.      Kaji riwayat adanya gejala meliputi serangan, frekuensi urinaria setiap hari, berkemih padamalam hari, sering berkemih, perasaan tidak dapat mengkosongkan vasika urinaria, dan menurunya pancaran urine.
2.      Lakukan pemeriksaan rektal ( palpasi ukuran, bentuk dan konsistensi) dan pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi distensi kandung kemih serta derajat pembesaran abdomen.
3.      Lakukan pemeriksaan erodinamik yang sederhana, uroflowmetri, dan pengukuran residual prostat, jika di indikasikan. ( Nursalam, 2006)


J.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia yang muncul antara lain :
1.    Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera (biologis, zat kimia, fisik, psikologis) ( Nanda, 2012).
2.    Hambatan mobilitas ditempat tidur berhubungan dengan keterbatasan lingkungan, peralatan terapi. (Nanda, 2012).
3.    Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan efek pembedahan pada sfingter kandung kemih sekunder akibat: pascaprostatektomi (Carpenito, 2006).
4.    Resiko infeksi berhubungan dengan adanya masukan mikroorganisme, prosedur invasive, trauma (Nanda, 2012).
5.    Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (Nanda, 2012).
6.    Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran. (Carpenito, 2006)
K.    Intervensi Keperawatan
Fokus intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah klien dengan Benigna Prostat Hiperplasia adalah :
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agens stress cedera (biologis, zat kimia, fisik, psikologis) (Nanda, 2012).
Tujuan : dapat mengontrol nyeri, nyeri dapat berkurang/hilang.
Kriteria Hasil : ekspresi wajah tampak tenang/rileks, skala nyeri   0-3.
Intervensi :
a.       Lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri
Rasional: meberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan /  keefektifan intervensi.
b.      Berikan informasi tentang nyeri, penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
Rasional: memberikan infomasi pengetahuan tentang penyakit yang dialam.

c.       Observasi tanda-tanda vital
Rasional: untuk mengetahui keadaan umum pasien.
d.      Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologik misal teknik nafas dalam bila nyeri timbul
Rasional: meingkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping..
e.       Pemberian Analgesik memberikan penurunan spasme dan nyeri
Rasional: diberikan untuk menghilangka nyeri berat, memberikan relaksasi: mental dan fisik.
2.      Resiko infeksi berhubungan dengan adanya masuknya mikroorganisme, prosedur invasive, trauma (Nanda, 2012).
Tujuan : Terbebasnya dari tanda atau gejala infeksi
Kriteria Hasil : Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
Intervensi :
a.       Observasi dan laporkan tanda gejala infeksi (kemerahan, panas, nyeri, bengkak, pus)
Rasional: mengetahui peningkatan terjadinya resiko terjadinya infeksi pada luka
b.      Kaji warna kulit kelembaban, tekstur, dan turgor kulit
Rasional: mengetahui perubahan keadaan sekitar luka
c.       Lakukan teknik steril dalam perawatan kebersihan luka
Rasional: pencegahan pemasukan bakteri, kuman dan infeksi
d.      Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Rasional : memberi informasi terhadap keluarga mengenai tanda infeksi
e.       Kolaborasi pemberian antibiotik dalam pencegahan infeksi
Rasional: diberikan untuk pencegahan resiko infeksi
3.      Hambatan mobilitas ditempat tidur berhubungan dengan ketrbatasan lingkungan (ukuran tempat tidur, tipe tempat tidur, peralatan terapi, restrain) (Nanda, 2012).
Tujuan : Mampu mengubah posisi sendiri ditempat tidur
Kriteria Hasil : dapat melakukan aktivitas secara mandiri (terlentang-duduk, miring kanan-kiri)
Intervensi :
a.       Kaji tingkat ketergantungan klien
Rasional: mengetahui seberapa tingkat kemampuan gerak klien
b.      Observasi hambatan mengatur posisi ditempat tidur
Rasional: mengetahui terjadinya permasalahan dalam berubah posisi ditempat tidur
c.       Mengajarkan latihan ROM seperti miring kanan-kiri secara bertahap
Rasional: memberikan latihan bergerak dalam mengatur posisi
d.      Anjurkan untuk tirah baring pada klien
Rasional: memberikan kenyamanan dan keamanan klien
e.       Berikan latihan gerak aktif dan pasif supaya tidak kaku pada persendi.
Rasional: mencegah pengkakuan poda otot, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4.      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (Nanda, 2012).
Tujuan : keseimbangan cairan, dehidrasi yang adekuat dapat terpenuhi
Kriteria Hasil: memperhatikan urin output, vital saign dalam batas normal, tidak ada tanda dehidrasi (membran mukosa lembab, turgor kulit baik)
Intervensi :
a.       Monitor tanda dehidrasi
Rasional: mengetahui seberapa banyak pemasukan cairan
b.      Pertahankan catatan intek dan output yang adekuat
Rasional: membantu dalam pemasukan dan pengeluaran cairan
c.       Monitor vital sign
Rasional: mengetahui keadaan umum klien
d.      Dorong masukan peroral
Rasional: menentukan/ memilih tindakan terjadinya dehidrasi
e.       Kolaborasi pemberian cairan/makanan
Rasional: berguna dalam pencegahan dehidrasi berat pada klien
5.      Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan efek pembedahan pada sfingter kandung kemih sekunder akibat: pascaprostatektomi (Carpenito, 2006).
Tujuan : induvidu menjadi kontinen
Kriteria Hasil: Menunjukkan kontinensia urin, eliminasi urin tidak terganggu > 150 cc
Intervensi :
a.       Pertahankan pola eliminasi urin yang optimal
Rasional: meminimalkan retensi urine yang belebih pada kandung kemih
b.      Kaji faktor yang meningkatkan insiden
Rasional: menentukan faktor terjadinya peningkatan retensi urine
c.       Instruksikan klien untuk berespon segera mungkin terhadap kebutuhan berkemih
Rasional: membantu dalam berkemih sesuai aturan 
d.      Pantau eliminasi urin, meliputi frekuensi, konsistensi, volume, warna, bau
Rasional: berguna untuk menevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
e.       Intruksikan keluarga memperhatikan haluaran urin dan mencatat bila perlu
Rasional: membantu untuk mengetahui peningkatan haluaran urin
6.       Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
Tujuan : individu menyatakan cedera lebih sedikit dan rasa takut cedera berkurang, cedera tidak terjadi.
Kriteria hasil : mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi resiko cedera, mengungkapkan maksud untuk melakukan tindakan pencegahan tertentu, meningkatkan aktivitas harian bila memungkinkan.
Intervensi :
a.      Awasi individu secara ketat selama beberapa malam untuk menjaga keamanan
Rasional : memantau aktivitas klien
b.      Ajarkan penggunaan kruk, tongkat dan wolker
Rasional : membantu dalam aktivitas
c.       Gunakan tempat tidur yang rendah dengan pagar terpasang
Rasional : mencegah jatuh saat mobilisasi yang tidak disadari
d.      Ciptakan lingkungan yang aman : lantai kering
Rasional : mencegah agar tidak terpeleset
e.      Letakkan pispot dekat tempat tidur atau pispot kursi di depan klien

Rasional : mengurangi kelelahan dengan menghemat tenaga klien untuk kekamar mandi.

Makalah Asfiksia

LANDASAN TEORI A.     Pengertian Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terl...